Blogroll

Ambon, Riwayatmu Kini …

“Ambon sekarang sudah tenang dan aman,” ungkap Helma Alkatiri. Ibu satu anak ini memutar kembali memorinya terkait konflik horizontal di Ambon 19 Januari tahun 1999. Helma mengalami pahit getirnya konflik horizontal itu. Kala itu, ia bergegas hendak silahturahmi ke rumah para tetangga. Tiba-tiba telepon berdering dari saudaranya yang menggabarkan terjadi perkelaian di kawasan terminal Mardika dan di Batu merah. Kawasan tersebut berjarak sekitar 5 kilometer dari rumahnya di belakang Jl. A.Y. Patty dpusat kota. “Saya langsung gemetar mendengarnya,” ungkap perempuan kelahiran Ambon, 26 April 1960 ini.

 Waktu berputar begitu cepat. Konflik pun pecah. Ia beserta keluarga mengungsi ke rumah tetangganya. Setelah tiga hari, ia pun mengungsi di Mesjid Al Fatah, Ambon. “Saya hanya bawa yang penting saja seperti pakaian, ijasah, “katanya. Menuju ke mesjid Al-Fatah, ia harus melewati pecahan-pecahan kaca dan serpihan-serpihan batu yang bertebaran. Mesjid terbesar di kota Ambon yang terletak di Jalan Sultan Baabullah. Disana, ia hidup bersesak-sesakan dengan ribuan pengungsi lainnya. Pakaian yang ia gunakan seadanya saja. “Asal selamat, sudah lebih bagus,” katanya. Usai itu, ia pindah di rumah saudaranya selama dua minggu.

 Sebulan kemudian, ia mengungsi sementara ke rumah saudaranya di Surabaya, Jawa Timur. Menggunakan kapal laut bukan perkara mudah. Ia harus berdesak-desakan dengan ribuan pengungsi lainnya yang hendak menyelamatkan diri. Barangnya tak bisa diangkut lewat tangga tapi menggunakan tali yang ditarik dari atas. “Seng akan naik kapal lai,” ungkapnya.

Hanya dua minggu, Helma di Surabaya. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Ambon. “Bagaimanapun Ambon tetap tanah kelahiran beta,” katanya. Sekarang, ia memilih tinggal di rumahnya di kawasan Air Kuning, Ambon.

Ambon, sekarang mulai mempercantik diri. Lihat saja, di jantung kota Ambon di kawasan Jalan A.Y. Patty. Medio tahun 1999 hingga 2004, masih banyak bangunan-bangunan yang rusak akibat konflik. Warna hitam bangunan karena dilalap api, mendominasi pemandangan di kawasan tersebut. Suasana semakin terkesan kumuh, karena bangunan di kawasan itu digunakan sebagai tempat pengungsian. Gantungan baju tergantung di jendela-jendela tertebaran.

Kala itu, tak banyak pertokoan yang beraktivitas. Jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Sekarang, kawasan A.Y. Patty terasa hidup karena roda perekonomian mulai bergulir. Hampir semua, toko telah aktif kembali. Mulai dari toko emas, toko swalayan hingga kantor tour and travel dibuka. A.Y. Patty merupakan salah satu dari empat ruas jalan utama di kota Ambon. Tiga di antaranya adalah Anthony Rhebok, AM Sangadji dan Sultan Baabullah.

Muntamah, pemilik rumah makan ‘Arema’ di kawasan Sultan Hairun menggatakan, awal membuka rumah makan tahun 2003, keadaan di kawasan tersebut maish sangat sepi. “Tokonya masih bisa dihitung dengan jari,” ungkapnya kepada GATRA. Tapi Muntamah tetap membuka warung makan mulai pukul 9 pagi hingga pukul 9 malam. Mengingat minimnya warung makan di kawasan tersebut, dalam sebulan, ia bisa meraup omzet hingga Rp 20 juta tahun 2003. Sekarang, dengan ramainya warung makan, ia mengaku hanya mampu meraup keuntungan sekitar Rp 5-10 juta. “Sekarang, dimana kaki melangkah, selalu ada toko,” katanya.

Ambon Plaza (Amplaz) merupakan satu-satunya tempat pembelanjaan terbesar di kota Ambon. Amplaz berlantai empat ini didominasi toko pakaian hingga kebutuhan sehari-hari. Eskalator di Plaza tersebut tak berfungsi. Sebuah departemen store ternama, terdapat di dalamnya. Hanya saja, dikarenakan pendingin ruangan yang tak berfungsi, membuat susana di dalamnya terasa pengap. Ditambah lagi, banyaknya orang yang hendak belanja atau sekedar jalan-jalan di lokasi. Tapi, mereka masih tetap menikmati melakukan aksi belanja atau sekedar cuci mata. Sebagai alternatif, dipasanglah kipas angin di beberapa sudut, walaupun itu toh tak membantu.

Jika malam menjelang, pertokoan di Amplaz pun tutup. Hanya sebuah departemen store yang masih tetap buka hingga pukul sembilan malam. Sebagai alternatif, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di ruas jalan utama di kota Ambon. Lihat saja, kalau malam minggu tiba. Kawasan di Jalan Sultan Baabullah dipenuhi warga mulai dari tua-muda tumplek-blek di lokasi itu. Kafe-kafe pun mulai dibanjiri orang. Di dalam kafe dilengkapi pertunjukan musik secara langsung. Begitupula banyak warung kopi yang bertebaran.

Kawasan Pasar Mardika yang diduga menjadi tempat awal terjadinya pertikaian pun sekarang semakin ramai. Tak ada sekat-sekat wilayah seperti dulu. Ini tentu berbeda pada saat konflik pecah. Syaiful, salah satu pemilik toko kelontong di kawasan mardika menggatakan, situasinya saat ini lebih aman dan nyaman. Ia kembali membuka toko pada tahun 2003. “Waktu itu lampu sering mati. Buka toko paling hanya 2-3 jam saja,” ungkapnya. Sekarang, ia berani membuka toko hingga pukul 9 malam.

Di Jalan Yos Sudarso, terdapat pantai Losari. Di lokasi tersebut, jika malam tiba, dipenuhi kafe-kafe tenda. Hinggar binggar musik terdengar. Makanan yang dijual kebanyakan makanan ringan seperti jagung rebus, kacang rebus hingga air jahe.

Untuk buah tangan alias oleh-oleh, Ambon menyajikan banyak hal. Mulai dari minyak kayu putih asli, perhiasan dari besi putih, hingga beragam makanan. Makanan kebanyakan yang terbuat dari sagu dan kenari. Sayangnya, sudah hampir enam bulan listrik di kota Ambon sering padam. Dalam sehari, listrik kerap mati selama 4-5 jam. Bahkan bisa lebih dari lima jam. Ini tentu saja membuat roda perekonomian di kota Ambon menjadi terganggu. Aktivitas masyarakat pun mengalami hambatan. (RA)

Blogroll

Merajut Damai dari Puing Konflik

Ia menggagas, mengawali, dan membuka sekolah perempuan untuk ibu-ibu korban konflik Poso. Kiprah dan kurikulum damainya untuk perempuan serta anak-anak dianugerahi Coexist Prize.
 
Meski hanya beralaskan tikar atau kursi seadanya, para perempuan dari berbagai suku, agama, dan golongan itu tampak antusias mengeluarkan ide-idenya. Suasana cair di sebuah sekolah perempuan (SP) di Poso, Sulawesi Tengah, tersebut tidak begitu saja dihadirkan dalam waktu sekejap. Adalah Lian Gogali yang memulai merajut benang saling percaya itu tumbuh, setelah masyarakat tercabik-cabik oleh konflik Poso 2002.
Koflik bernuansa agama itu membuat saling curiga, kebencian, dan permusuhan antar-warga masyarakat pun menyeruak. Perempuan kelahiran Poso, 24 April 1978, itu tahu benar kondisi sosial budaya masyarakat di sana. Pasalnya, pada 2002-2004, ia kerap datang ke sana dalam rangka mengerjakan tesis pascasarjana bertema konflik Poso di Fakultas Budaya dan Agama Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Gugatan muncul ketika seorang responden bertanya. “Setelah meneliti, menulis, dan mendapat gelar, lalu mau apa dengan wawancara ini?” ungkap Lian. Pertanyaan itu mengubah jalan hidupnya. “Saya memutuskan kembali ke Poso dan bekerja untuk isu perempuan dan anak-anak,” katanya.
Begitu kuliahnya kelar, ia memilih bekerja dengan Asian Muslim Action Network (AMAN) sebagai fasilitator SP yang dibangun di Poso. Ketika AMAN menghentikan programnya, berbekal pengalaman dan pembelajaran yang didapatkannya, Lian memutuskan membuat sendiri SP. “Saya percaya ada kebutuhan mendesak bagi perempuan untuk berbicara dan berpartisipasi aktif,” ujarnya.
Pada 2011, Lian mengawali angkatan pertama SP di rumah kontrakannya. Sekolah itu dinamai Mosintuwu –dari bahasa Poso yang artinya “hidup bersama”. Pada mulanya, sekurangnya 100 ibu rumah tangga biasa lulusan SD dan maksimal SMP yang beragama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha diajak bergabung. Pertemuan pertama yang diwarnai tatapan mata saling curiga perlahan cari ketika komunitas dilibatkan dalam pembuatan kurikulum.
Institut Mosintuwu yang didirikan Lian juga mengundang akademisi, budayawan, tokoh masyarakat, dan kaum perempuan untuk mendiskusikan kebutuhan bahan kurikulum sekitar seminggu. Lantas materi yang masuk dielaborasi Lian dengan bantuan Jhon Lusikooy, seorang akademisi yang juga aktivitis sosial di Tentena.
Angkatan pertama SP, Lian melanjutkan, berjumlah 80 orang saja, terdiri dari Kristen 50%, Islam 40%, dan Hindu 10%. Angkatan kedua 100 orang. Namun biasanya, menurut Lian, ada beberapa yang mengundurkan diri. Begitu lulusan pertama kelar, banyak desa yang minta agar perempuan di desanya dilibatkan dalam SP dan meminta agar SP berdiri di sana.
Melihat besarnya antusiasme, menurut Lian, SP lantas dibangun di tiga kecamatan lain, yakni Kecamatan Lage yang terdiri dari Desa Toyado, Labuan, Malei, Bategencu; Kecamatan Poso Kota yang terdiri dari Desa Bukit Bambu, Sayo, Tegalrejo; dan Kecamatan Poso Pesisir Selatan yang terdiri dari Desa Tangkura, Betalembah, Patiwunga. Mereka dari berbagai suku, seperti Pamona, Toraja, Bugis, Gorontalo, Bajo, dan Mori.
Tak mudah menggandeng para perempuan. “Ada yang datang dengan dugaan ada uang duduk, setelah tahu tidak ada, terus mundur,” katanya. Lalu, karena pesertanya ibu rumah tangga, sang suami kerap melarang. “Ada anggapan, istrinya sudah tidak memperhatikan rumah tangga dan hanya mau sekolah,” ia menambahkan.
Sementara itu, beberapa warga berpikir, bekerja atau belajar di luar rumah tanpa izin suami tidaklah baik. Muncul pula asumsi bahwa jika ikut SP, ibu-ibu berbicara lebih lantang dan melawan. “Beberapa sempat mengancam lewat SMS,” ungkapnya.
Namun ada pula warga yang mendukung karena istrinya bertambah pintar dan berwawasan ketika diajak berdiskusi. Perubahan paling nyata, menurut Lian, dirasakan para perempuan peserta SP sendiri. “Mereka mulai paham, saling menaruh respek, dan terbuka terhadap perbedaan agama yang ada,” kata perempuan yang telah menulis tiga buku, antara lain Konflik Poso: Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Ingatan, itu.
Di sebuah SP yang ada di Pamona, misalnya, sekolah dibuka para peserta dengan menceritakan persoalan yang dialami, seperti KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Lalu mereka mencoba saling mendukung, berempati, dan bersumbang saran. Kegiatan juga diisi dengan diskusi, bermain drama, menonton film, analisis film, kunjungan lapangan ke rumah ibadah agama Islam, Kristen, dan Hindu untuk mengenal dan mengetahui agama, membuat film pendek, dan permainan.
Sekolah digelar sekali sepekan selama empat jam. Dalam menjalankan SP dan sanggar anak, Lian membiayainya dari honor bekerja sebagai peneliti dan penulis. Nah, suatu ketika, seorang kawan peneliti dari Belanda merekomendasikannya untuk menceritakan mimpi-mimpinya tentang SP ke organisasi Mensen Men Een Missie. “Mereka pun membiayai operasional SP,” tuturnya.
Kali ini, SP angkatan kedua, menurut Lian, dibiayai dari hasil Coexist Prize yang diterimanya pada 20 Maret lalu di Skirball Center, Universitas New York, Amerika Serikat. Penghargaan internasional dari Coexist Foundation yang bermarkas di Inggris itu diberikan kepada mereka yang dianggap sebagai unsung hero, sosok tidak dikenal yang bekerja dan memperjuangkan isu perdamaian serta gerakan interfaith.
“Saya tidak tahu dan mendadak masuk daftar panjang nominasi. Setelah itu lupa, tidak ingat lagi,” katanya merendah. Lian terpilih dari enam nominator utama yang disaring dari 20 nominator awal. Mereka dipilih dari 300 lebih nominator yang masuk dari seluruh dunia. Lian dan para finalis lolos setelah melalui tahap penjurian yang ketat oleh Dr. Ali Gomaa, Rabbi David Superstein, Bishop Mark S. Hanson, dan Mary Robinson.
Ke depan, Lian ingin menggelar Kongres Perempuan Poso. Kongres ini untuk membuka ruang bicara perempuan Poso sera akses ruang publik dan ruang politik, sehingga perempuan bisa berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan mendapatkan keadilan. “Saya juga ingin membangun sekolah perempuan di beberapa tempat di Indonesia, juga di luar, khususnya di daerah-daerah pasca-konflik,” ujarnya.
Blogroll

Maut Mengintai Wartawan

Irak merupakan ranjau pembunuhan terbesar: 60 nyawa wartawan melayang. Tapi Filipina merupakan negeri, di mana nyawa wartawan jadi incaran para koruptor.

ATTACK ON THE PRESS IN 2005
Editor: Bill Sweeney
Penerbit: Committee to Protect Journalist, New York, 2006, 311 halaman

TAHUN 2005 merupakan saat paling menyedihkan bagi para wartawan. Ada 24 negara yang memenjarakan sekitar 125 wartawan sepanjang tahun itu. Malah, menurut data CPJ, lebih dari 100 jurnalis terbunuh saat melakukan tugas jurnalistiknya kurun 2003-2005.

Profesi wartawan di banyak negeri terkadang sangat tidak aman. Berbagai ancaman membayangi gerak-gerik mereka. Mulai penyensoran bahan berita, ancaman penangkapan, intimidasi, hingga pembunuhan. Itulah hasil kajian Komisi Perlindungan Jurnalis, CPJ, terhadap profesi wartawan selama 24 tahun.

Buku hasil studi kasus itu mengungkap secara terperinci berbagai tindak kekerasan terhadap wartawan di berbagai pelosok negeri. Mulai Irak, Cina, dari Uzbekistan, Zimbabwe, Amerika Latin, Asia Tenggara, hingga Rusia.

Irak merupakan ranjau kematian bagi wartawan. Negeri ini menduduki peringkat pertama dalam kasus pembunuhan pekerja media. Target pembunuhan antara lain editor, reporter, dan fotografer.

Tahun lalu, sekitar 22 jurnalis dan tiga staf media terbunuh di sana. Selama invasi Amerika, sejak Maret 2003, sudah 60 wartawan dan 22 staf media tewas. Dalam beberapa kasus, tentara Amerika sendiri yang menjadi algojo. Yang dituju umumnya jurnalis yang tak mendukung Amerika dalam pemberitaannya.

Februari 2005, seorang penyiar berita Al-Iraqiya, Raeda Wazzan, kedapatan terbunuh. Raeda sebelumnya sering menerima ancaman pembunuhan. Jawad Kadhem, koresponden Al-Arabiya tertembak dan luka serius di salah satu restoran di Baghdad. Dia dianggap bertanggung jawab atas pemberitaan berjudul “Syi’ah Pendendam”.

Di Basra, kota di bagian selatan, wartawan Amerika, Steven Vincent, diculik dan dibunuh bersama penerjemahnya. Berdasarkan penyelidikan CJP, pembunuhan berkaitan dengan berita tentang kelompok Syi’ah dan penyusupan ke kantor polisi. Fakher Haider, stringer dari The New York Times, pun dibunuh di kota yang sama.

Brasil, sebagai negara yang menjamin kebebasan pers, tak luput dari sorotan. Selama lima tahun terakhir, empat wartawan terbunuh di negeri itu. Di Amerika Latin, kawasan paling tidak aman adalah negeri-negeri yang kental dengan peredaran obat bius. Kolombia masuk daftar lima negara paling berbahaya bagi wartawan. Dalam 10 tahun terakhir, sekitar 28 wartawan terbunuh akibat pekerjaan jurnalistiknya.

Hasil investigasi CJP menyebutkan, ancaman, serangan, dan intimidasi ke alamat wartawan datang dari berbagai sisi secara terus-menerus. Semua tekanan itu berasal dari para gangster, koruptor kakap, dan kartel obat bius.

Setelah Irak, Filipina menduduki posisi kedua yang sangat berbahaya bagi kehidupan wartawan. Sekitar 22 wartawan di negeri itu terbunuh sejak 2000. Tahun lalu saja, empat jurnalis tewas. Diduga pembunuhan akibat pemberitaan kasus korupsi.

Penyiar radio Klein Cantoneros, 32 tahun, ditemukan tewas setelah melaporkan kasus korupsi lewat program acara “People, Wake Up”. Dia ditembak seorang pengendara sepeda motor sepulang dari kantornya di Dipolog City, Mindanao.

Seminggu kemudian, tepatnya 10 Mei 2005, Philip Agustin, Pemimpin Redaksi Starline Times Recorder, menjadi korban. Ia ditembak saat berada di rumah salah seorang saudaranya. Diduga, Agustin dibunuh karena mengungkap kasus korupsi dan ilegal logging di Dingalan.

Walau demikian, menurut catatan CPJ, Filipina menjadi negeri yang memberi angin segar pada wartawan. Pada 29 November 2005, pengadilan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Guillermo Wapile. Mantan anggota polisi ini menembak mati Edgar Damalerio, peraih penghargaan editor dan komentator radio terbaik negeri itu pada 2002.

Vonis itu bisa dibilang berkat kerja keras janda Damalerio, Gemma, yang terus berjuang agar pembunuh suaminya dihukum. Vonis buat Wapila merupakan putusan pertama dalam kurun lima tahun sejak maraknya kasus pembunuhan para wartawan. Ini tentu jadi pelajaran berharga bagi penegak hukum dan siapa saja yang tidak bisa menghargai kerja jurnalistik.

Blogroll

Menilik Kode Etik Jurnalistik

Aturan main yang berlaku di koran tertua Amerika ini lengkap dan sangat terperinci. Membantu kita mengetahui standar ketat bagi para jurnalis.

THE NEW YORK TIMES, MENULIS BERITA TANPA TAKUT ATAU MEMIHAK

Penulis: Ignatius Haryanto
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Juli 2006, xxvi + 120 halaman

Surat kabar The New York Times memang menjadi legenda media di dunia. Banyak hal yang menarik dari koran yang terbit perdana pada 1851 itu. Mulai sejarah kelahirannya, kode etik dan prestasinya, bahkan kasus yang pernah menerpanya. Buku setebal 119 halaman ini menjelaskan semua itu secara runtut.

The New York Times merupakan koran tertua sekaligus peraih penghargaan jurnalistik Pulitzer terbanyak dibandingkan dengan koran-koran lain di Amerika Serikat. Mulai 1918 hingga 2004, ia menyabet 90 penghargaan Pulitzer. Liputan-liputan politik, sains, investigasi, masalah internasional, hingga editorialnya pernah meraih penghargaan jurnalistik paling bergengsi itu.

Lantaran terlalu sering meraih Pulitzer, suatu ketika juri Pulitzer membuat kesepakatan bahwa koran itu akan dikeluarkan dari penilaian. Dewan juri membatasi, setiap tahun The New York Times hanya boleh menerima satu penghargaan. Sukses The New York Times berawal dari Adolph S. Ochs, yang lahir pada 1858 dan meninggal 76 tahun kemudian.

Ochs tak bisa menulis dengan baik secara gramatikal, tapi punya energi besar, kepribadian teguh, dan percaya diri. Liputan pertamanya dilakukan ketika ia masih berusia belasan tahun. Yakni peristiwa meninggalnya Presiden Andrew Johnson pada 1875, yang dimuat koran Lousiville Courier-Journal di Greenville, Tennessee.

Ia mendirikan Chattanooga Daily yang berubah nama menjadi Chattanooga Times pada 1878. Sedangkan The New York Times sudah terbit ketika Ochs mengelola Chattanooga Times. Pada 1896, Ochs mengambil alih koran tersebut. Ia mendeklarasikan moto “To give the news impartially, without fear or favor“.

Moto itu dimaksudkan untuk mencegah adanya tudingan bahwa koran ini lebih membela kepentingan Partai Demokrat. Salah satu berita eksklusif yang didapatkan adalah tentang karamnya kapal mewah Titanic. Awak koran itu berhasil menemukan fakta bahwa setengah jam setelah tanda SOS dikirim, tak ada sinyal yang didapat lagi oleh kapal ini.

Laporan tanggal 15 April 1912, bertajuk “Titanic Sinks Four Hours After Hitting Iceberg”, itu juga dilengkapi dengan daftar orang yang selamat dari peristiwa tersebut. Ada juga wawancara eksklusif dengan markoni yang menerima tanda SOS, sehingga tergambar lengkap bagaimana menit-menit terakhir sebelum kapal tenggelam.

Pada masa kempemimpinan Ochs, kebodohan bukanlah dosa. Ia berprinsip, lebih baik bodoh daripada membuat bingung pembaca. Tahun 1920-an, The New York Times mulai melakukan pergantian pucuk pimpinan. Sejumlah editor senior dipensiunkan dan digantikan oleh editor muda.

Menantu dan keponakan Ochs, Arthur Hay Sulzberger dan Julius Ochs Adler, pun mulai naik. Hingga saat ini, The New York Times sebagai grup perusahaan memiliki 25 harian di seluruh negeri, ditambah lima kantor layanan informasi, sembilan stasiun televisi lokal, dan dua stasiun radio.

Keberhasilan itu tentu tidak didapat dengan mudah. Salah satu pendukungnya adalah pemberlakuan kode etik yang jelas dan lengkap, yang termuat dalam 155 pasal. Aturan main ini tertuang dalam buku setebal 52 halaman. Bandingkan dengan Indonesia, tak satu pun kode etik yang memuat lebih dari 20 pasal.

Dalam kode etik itu termuat segala aturan main di bagian redaksi, juga bagian promosi dan pemasaran. Ada pula aturan untuk pengiklan. Uniknya, ada pasal khusus yang mengatur masalah hubungan pribadi dengan narasumber. Berlaku semacam keharusan bagi wartawan untuk mengungkap kedekatan hubungan itu kepada atasannya.

Kode etik yang terdapat dalam buku ini membantu pembaca untuk mengetahui standar yang dipakai surat kabar itu. Salah satu yang menarik adalah tentang self-regulation (pengaturan diri sendiri). JIka koran itu melakukan kesalahan, maka kesalahan tersebut harus ditelusuri dan hasilnya diumumkan kepada publik.

Contohnya ketika mencuat kasus berita bohong yang ditulis awaknya bernama Jayson Blair pada 2003. Blair terbukti menulis berita palsu soal Jessica D. Lynch, tentara Amerika yang ditawan dalam serangan ke Irak. Para editor koran ini pun secara resmi memuat permintaan maaf kepada pembaca.

Blogroll

Pak Presiden, Aku Perlu Pekerjaan

Komunikasi masyarakat dengan Presiden SBY lewat pesan singkat dan surat telah dibukukan. Hal remeh-temeh pun diadukan pada kepala negara.

RAKYAT MENGADU PRESIDEN MENJAWAB
Editor: Sardan Marbun
Penerbit: Tim SMS dan PO Box 9949, Jakarta, Oktober 2006, xxii + 257 halaman

Apa yang terjadi jika ada akses langsung antara rakyat dan presiden? Jawabannya, banyak sekali keluhan, saran, sampai kritik yang tersampaikan. Proses komunikasi itu diimplementasikan melalui layanan pesan singkat alias SMS, serta surat yang dikirim lewat PO Box 9949 Jakarta 10000.

Pembukaan akses komunikasi langsung digulirkan Presiden Susilo Bambang “SBY” Yudhoyono pada 15 Juni 2005. Kala itu, presiden sedang melakukan tatap muka dengan petani di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Ternyata, keterbukaan akses informasi antara rakyat dan presiden membuahkan hasil menggembirakan.

Tercatat, hingga 30 Juni 2006, pengaduan melalui SMS berjumlah 2.039.007. Surat yang dikirim melalui kotak pos mencapi 18.170. Secara garis besar, pengaduan masyarakat melalui SMS dan kotak pos itu menyangkut masalah korupsi, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, keamanan, dukungan rakyat, bantuan hukum, good governance, dan masalah umum.

Penerbitan buku ini rupanya merupakan penjelasan tentang proses dan tindak lanjut atas masukan yang diterima melalui pesan singkat dan kotak pos itu. Sebagian masukan dan jawaban presiden atas beragam pertanyaan rakyat diungkapkan dalam buku ini.

Proses tindak lanjutnya memiliki mekanisme tersendiri. Awalnya, tim mempelajari dan memperhatikan setiap masukan, lantas melaporkannya kepada presiden. Setelah itu, pengaduan itu dijawab satu per satu sesuai dengan kebijakan presiden.

Langkah selanjutnya adalah menginstruksikan kepada instansi pemerintah terkait untuk menindaklanjuti permasalahan sehingga didapat klarifikasi. Terakhir adalah menerima dan mempelajari hasil klarifikasi atau penyelesaian. Posisi pertama yang paling banyak direspons adalah masalah umum. Jumlahnya 308.706 SMS dan 6.046 surat.

Isi SMS yang masuk sebagian besar tidak formal. Masalah yang muncul antara lain mencari pekerjaan, meminta dana, permohonan bertatap muka, dan minta foto. Lihat saja beberapa bunyi SMS. “Salam hormat, Pak Presiden. Sukses dan maju terus pimpin Indonesia jaya. Saya mohon kasih tiket Piala Dunia 2006 Germany (628xx39733xxx).”

Ada juga SMS yang berbunyi: “Aku perlu pekerjaan, Pak Presiden! Aku juga perlu istri. Aku ingin punya pacar! Please help me! You are The President, right? (628xx0464xx).” Sedangkan masalah korupsi tidak terlalu banyak mendapat respons masyarakat.

Pengaduan yang berkaitan dengan korupsi hanya 224.902 SMS dan 1.018 surat. Salah satu bunyi SMS yang masuk adalah: “Bapak Presiden, pemberantasan korupsi merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, harus dimulai dari lingkungan sendiri (628xx7777xxx).”

Untuk bidang pendidikan, jumlah pengaduan yang masuk sebanyak 183.103 SMS dan 146 surat. Dari jumlah itu, 71 di antaranya telah diteruskan ke Departemen Pendidikan Nasional serta 13 lainnya diteruskan ke pemerintah daerah yang diadukan. Hasil investigasi Departemen Pendidikan menemukan, enam pengaduan tersebut terbukti benar, enam pengaduan tidak terbukti, dan 59 pengaduan masih dalam proses penyelesaian.

Dalam bidang kesehatan, ada 262.828 SMS dan 35 surat yang masuk. Pelayanan publik pun mendapat perhatian. Selama setahun, masuk 317.881 SMS dan 964 surat. Sebagian besar meliputi masalah pembangunan infrastruktur, seperti perbaikan jalan, pembangunan waduk, dan saluran irigasi.

Yang cukup unik adalah pengaduan dalam bidang hukum yang jumlahnya 140.488 SMS dan 1.505 surat. Beberapa pengaduan tidak mencantumkan nama dan alamat sehingga sulit untuk menyelidikinya.

Ada juga warga yang mengadukan kasus pencurian empat buah melon, dua buah pepaya, 10 potong daging ayam, dan 15 telur ayam. Hal lain yang menarik, sejumlah pelapor beranggapan bahwa pengaduan ke SMS dan PO Box 9949 akan menuntaskan masalah yang mereka hadapi.

Buku ini dilengkapi dengan foto-foto kegiatan presiden selama setahun terakhir. Ada juga kutipan-kutipan pidato presiden dan Ibu Negara Hajah Ani Bambang Yudhoyono. Tapi, secara keseluruhan, buku ini tentu tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk melihat realitas yang terjadi di Indonesia.

Blogroll

Penantian Empat Tahun

Justin Timberlake
FutureSex/LoveSounds
Sony-BMG Music Indonesia

Makin dewasa makin sensual. Itu kesan yang muncul ketika mendengar album teranyar mantan personel N’Sync ini. Empat tahun setelah album perdananya, “Justified”, Justin seperti ingin membuktikan bahwa waktu selama itu tidak dihabiskan untuk foya-foya, menghabiskan kekayaan senilai US$ 25 juta.

Di “FutureSex/LoveSounds”, Justin masih setia mengusung warna pop, R&B, dance, dan menambah sedikit unsur distorsi (terutama pada vokal). Seperti pada album sebelumnya, di kumpulan karya teranyarnya ini Justin juga ikut menulis lagu. Di bawah arahan produser bertangan dingin macam Timbaland, Rick Rubin, dan Jawbreaker, album ini seperti mendapat momentum.

Pasar rupanya sudah menunggu lama akan kehadiran Justin. Ini bisa dilihat dari lamanya single pertama SexyBack bercokol di 100 stasiun radio di Los Angeles dan New York. Selama dua pekan berturut-turut, lagu itu wara-wiri di sana.

Pertanyaannya sekarang, apakah album ini bisa mengulang sukses album sebelumnya, yang terjual sebanyak tujuh juta kopi?

Blogroll

Berkeringat Bersama Tata

Tata Younghttp://www.youtube.com/watch?v=ezZ9jDytwsEKematangan beryanyi Tata Young dapat dibuktikan melalui album terbarunya, “Temperature Rising”. Album kedua ini seolah menyuguhkan kualitas prima artis kelahiran 14 Desember 1980 ini. Semua lagu dalam album ini dinyanyikannya dalam bahasa Inggris dengan baik.

Tata Young
Temperature Rising
Sony-BMG Music Indonesia

Kematangan beryanyi Tata Young dapat dibuktikan melalui album terbarunya, “Temperature Rising”. Album kedua ini seolah menyuguhkan kualitas prima artis kelahiran 14 Desember 1980 ini. Semua lagu dalam album ini dinyanyikannya dalam bahasa Inggris dengan baik.

Untuk urusan lirik, pemilik nama asli Tata Amita Marie Young ini juga tak mau main-main. Tak tanggung-tanggung, ia menggandeng Diane Warren, Paul McCartney, dan Natasha Bedingfield. Di samping itu, ia juga mengajak penulis lagu top macam Sandeep Chowta, Adam Anders, dan Nikki Hassman.

Fenomenal? Boleh jadi demikian. Buktinya, trik ini mampu membawa album tersebut ke peringkat pertama chart di Thailand. Di Jepang, album ini terjual hingga 50.000 keping. Lirik lagu yang mudah dan sederhana juga menjadi penyumbang sukses album itu.

Ini bisa didengar dalam lagu El Nin-Yo!, Back Outta This, I Want Some of That, dan Uh Oh yang kental dengan irama techno. Badan seolah ingin langsung bergoyang begitu mendengar lagu itu. Masuknya Alex G. sebagai produser menjadi penyebab mengapa album ini terasa senapas dengan milik Britney Spears.

Maklum, Alex juga pernah memproduseri album Spears, di samping Christina Aguilera, Stacie Orrio, dan Lindsay Lohan. Namun bukan berarti Tata asyik masyuk dengan lagu berirama cepat. Di For I Will, ia tampil mellow. Malah di Mila Mila, Tata mencoba menggabungkan unsur musik India ke dalamnya. Siap-siap nyalakan penyejuk udara.

Blogroll

Padu Padan-Pro Amatir

Padu Padan Pro-Amatir

Dengan pertunjukan apa adanya, ”Selebriti Jam” menjadi tontonan yang cukup menghibur.

Penampilan Donna Agnesia cukup atraktif untuk menarik perhatian penonton. Bergaun merah muda dilengkapi sepasang sayap setinggi dua meter, beratnya mencapai 1,5 kilogram. ia tampil bak bidadari. Klop dengan judul lagu yang dilantunkannya bersama Andre Hehanusa.

Sambil melantunkan lagu, Donna duduk di ayunan yang dihiasi dedaunan. Sayang, suaranya tak semerdu bidadari langit ketujuh. Walau terdengar cukup padu, sejujurnya Andre (penyanyi asli lagu itu) lumayan bekerja keras menutupi kekurangan Donna, meski tak ada nada yang keluar pitch.

Selain pasangan Donna-Andre, Rabu malam lalu, hadir pula pasangan Surya Saputra-Titiek Puspa dan Angel Karamoy-Nafa Urbach. Ketiganya tampil live dalam acara bertajuk “Selebriti Jam”, yang ditayangkan Antv saban Rabu. Ketiga pasangan itu tampil dalam babak bernama best runner up. Ini babak penyisihan terakhir sebelum para pemenangnya tampil di babak semifinal.

Sebelumnya ada 18 pasangan peserta yang ikut ambil bagian dalam “Selebriti Jam”. Maklum, acara ini menerapkan sistem gugur. Di setiap episode –ditayangkan dua kali dalam sepekan dengan tayangan Sabtu malam berupa rerun— tiga pasang peserta tampil. Mereka membawakan lagu yang dipilih di hadapan dewan juri, terdiri dau juri tetap: Vina Panduwinata dan Setiawan Djody, serta juri tamu.

Eliminasi tiap pasang diserahkan kepada pemirsa ”Selebriti Jam”, yang memberikan suara via SMS. Pasangan yang menduduki posisi ketiga otomatis tereliminasi. Runner up tiap episode diberi kesempatan masuk babak best runner up, semula namanya babak wild card. Sementara peringkat pertama melenggang ke babak semifinal.

Keterlibatan pemirsa cukup lumayan. Misalnya, ketika sang bidadari Donna Agnesia tampil, total SMS yang masuk mencapai 30.000. Jumlah ini menunjukkan tren meningkat, mendekati babak-babak akhir ”Selebriti Jam”.

Acara ini tak sepenuhnya ide orisinal Antv atau Becker Entertainment, rumah produksi acara tersebut. Acara “Star On Stage” yang ditanyakan sebuah stasiun televisi Swedia menjadi referensinya. Namun, seperti diakui Pinkan Laluyan, Executive Producer Antv, tak seluruhnya “Star On Stage” di-copy-paste.

Soal durasi, misalnya. Acara yang menghabiskan Rp 200 juta tiap episode itu lebih panjang 30 menit ketimbang yang ditayangkan di Swedia. Lalu, dalam penentuan pemenang, peserta ”Selebriti Jam” menjalani proses yang lebih panjang. Kemudian jumlah peserta yang mencapai 36 orang.

Sebelum diperkenalkan pertama kali pada 20 September, seluruh peserta tampil dan belum dilakukan eliminasi. Kemudian Antv dan Becker menyiapkan acara ini selama tiga bulan. Waktu selama itu banyak disisihkan untuk menghubungi para pendukung acara. “Untuk meyakinkan mereka agar mau ‘buka mulut’,” kata Arry Syaff, Line Producer Becker Entertainment.

Usaha penyelenggara ini memang terlihat keras. Buktinya, mereka berhasil meyakinkan Ian Kasela (vokalis Radja), Harvey Malaiholo (yang terhitung cukup lama tak tampil live di layar kaca), hingga penyanyi senior Titiek Puspa, dari kelompok penyanyi profesional, untuk mau tampil. Berbagai aliran musik juga terwakili lewat kelompok ini, seperti pop rock, dangdut, jazz, hingga slow rock.

Demikian juga ketika berhadapan dengan Dokter Boyke Dian Nugrogo, Ajie Notonegoro, hingga Nadine Chandrawinata. Pihak Becker berusaha keras meyakinkan mereka untuk ikut ambil bagian dalam acara tersebut. Sebuah asumsi dibangun Becker Entertainment ketika memilih mereka. “Pada dasarnya, semua orang suka beryanyi,” ujar Arry.

Tak ada pakem khusus yang diterapkan produser acara ini pada tiap kelompok peserta. Ini tak lain karena bagi para peserta juga diterjunkan pelatih vokal. Tak tanggung-tanggung, ”Selebriti Jam” mendaulat Irvan Nat sebagai pelatih vokal. Irvan sudah punya segudang pengalaman mengajari ratusan penyanyi Tanah Air ketika memasuki dapur rekaman.

Saking inginnya tampil bagus, Angel Karamoy malah sampai menginap di rumah pasangannya, Nafa Urbach. Usaha ini rupanya memberi hasil lumayan. Buktinya, mereka sampai babak best runner up tadi.

Kalau akhirnya masih ada yang meleset dari nada semestinya, pihak produser tidak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya lagi. Bukankah pemirsa yang punya kuasa lewat jari-jarinya, entah memindahkan kanal TV atau mengetik SMS mendukung pasangan tertentu.

Ketika beberapa episode awal ditayangkan, Antv dan Becker sudah bisa menebak reaksi pemirsa. Ada yang mencak-mencak setelah mendengar suara fals Nadine atau overaktingnya Ivan Gunawan. Reaksi macam ini wajar. “Ketidaksempurnaan suara public figure itu yang menjadi nilai plus,” kata Arry.

Mantan vokalis Baron Band ini bilang, di bagian itulah ”Selebriti Jam” berbeda 180 derajat dibandingkan dengan kontes menyanyi lainnya, yang pesertanya sudah terlatih, tahu mengontrol pitch, dan sebagainya. Pintarnya produser ”Selebriti Jam”, mereka juga menayangkan bagaimana kerasnya para penyanyi amatir itu berlatih. Bahkan empat setengah jam sebelum tampil live, mereka masih berlatih.

Tentu ini mengundang simpati buat para peserta. Dengan pertunjukan apa adanya itu, ”Selebriti Jam” berhasil merebut rating cukup tinggi, 2,9, dan audience share sebesar 7,3. Maka, acara ini bertengger di posisi kedua –kadang ketiga– di antara acara hiburan Antv. Ia mengekor program “Super Deal 2 Milyar”.

Blogroll

Tak Mampu Beli, Sewa Pun Jadi

Mau tampil mentereng, tentenglah tas merek beken. Tak perlu beli jika kantong cekak. Dengan sistem sewa, duit hemat, gengsi pun dapat.

Dior. Toscano. Versace. Prada. Merek-merek beken itu tak asing lagi di mata wanita kalangan atas. Ke mana pun kaki melangkah, rasanya tak afdol bila tidak menenteng tas karya perancang top dunia itu. Meski harus dibeli dengan harga selangit, tak masalah demi gengsi.

Tetapi, jika gonta-ganti tas merek beken, kantong pun bisa jebol. Apalagi, biasanya tas hanya dipakai sekali. Setelah itu jadi pajangan. Bagaimana menyiasati agar bisa menyandang tas bergengsi tanpa menguras kocek? Dewi Hendrawan punya cara jitu.

Wanita 30 tahun itu tak perlu repot-repot membeli tas berbagai merek. Jika perlu, ia cukup datang ke persewaan tas Smart Diva. Satu merek bisa sekali pakai, berikutnya ganti merek lain. Siapa yang tahu bahwa tasnya barang sewaan.

Sejak mengetahui ada tempat persewaan, ia memilih menyewa ketimbang membeli setiap kali butuh tas. Manajer artis itu kali pertama menyewa tas merek Dior Rp 500.000 sehari. “Saya butuh untuk menghadiri ulang tahun teman. Semua tamunya orang terkenal,” ujar Dewi.

Di pesta bertabur selebriti itu, ia harus tampil berkelas. Toh, tidak ada satu pun pengunjung pesta mengetahui bahwa ia menenteng tas sewaan. “Saya nggak bilang siapa-siapa,” ucap Dewi setengah berbisik. Lagi pula, tas mahal yang ditenteng Dewi tidak distempel “sewa”.

Kini perempuan kelahiran Jakarta, 1 Agustus 1976, itu mengaku sering gonta-ganti tas merek terkenal. Untuk itu, ia harus bolak-balik ke Smart Diva. “Lebih baik sewa tapi asli daripada beli tapi palsu,” ungkap Dewi.

Sebelumnya, Dewi pernah memiliki tas Toscano seharga Rp 2 juta. Tetapi ia tidak sempat merawatnya. Akibatnya, tas itu tak dapat dipakai lagi. “Susah banget menjaga kualitas tas,” Dewi mengeluh. Tak mengherankan, ia sekarang lebih suka menyewa ketimbang membeli dan merawat tas berkualitas tinggi.

Pemilik Smart Diva, Amanda Sari, menyatakan bahwa sewa-menyewa tas merek terkenal sudah jamak bagi sejumlah wanita kelas menengah atas Jakarta. Budaya ”irit” itulah yang menginspirasi Amanda untuk membuka gerai persewaan tas. Untuk menjalankan bisnisnya, ia merangkul Jessica Schwarze, sahabatnya.

Amanda dan Jessica merintis bisnis persewaan tas beken, pertengahan tahun ini. Mereka hanya menyediakan merek dunia yang sudah ngetop di kalangan jetset, macam Versace, Prada, Chole, LV, Tod’s, YSL, Balenciaga, dan Fendi.

Awalnya Amanda dan Jessica adalah penggemar tas. Lantaran tas berharga jutaan rupiah itu hanya sekali dua kali dipakai, puluhan koleksi tasnya hanya menjadi pajangan. Setelah berburu informasi di internet, terbersitlah ide untuk membuat gerai persewaan tas. Situs-situs luar negeri seperti Bag Borrow or Steal dan From Bag To dijadikan rujukan.

Semula, banyak yang mencibir usaha yang dirintis dua wanita itu. “Gila aja, tas kok disewakan,” ucap Jessica, menirukan komentar beberapa orang. Tetapi niat mereka sudah mantap. Tak peduli anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. “Ini yang pertama kali di Indonesia,” ujar Jessica mantap.

Dengan modal Rp 100 juta, mereka mulai berburu tas-tas merek ternama. Tak perlu ke luar negeri, cukup mendatangi Plaza Indonesia dan Plaza Senayan. Setelah terkumpul 20 jenis tas, layanan persewaan tas pun dipublikasikan. Para calon pemesan bisa mengakses situs http://www.smart-diva.com.

Setelah menemukan tas yang diinginkan, cukup dengan menelepon, lalu pesanan segera diantar. Basecamp tempat persewaan adalah di rumah Amanda di Perumahan Pondok Indah, Jakarta. Kala itu, setiap akhir pekan, lima hingga 10 orang memesan tas.

Lantaran pelanggan makin berjibun, sejak 18 September lalu, Smart Diva membuka gerai di Jalan Bangka Raya, Jakarta Selatan. “Supaya lebih bergengsi,” ucap Jessica. Di gerai itu tersedia sekitar 50 item tas yang bisa disewa. Harga sewanya bervariasi, tergantung klasifikasi yang diberikan.

“Kami membaginya menjadi tiga tingkatan,” kata Jessica. Tingkat pertama adalah couture, yakni tas-tas yang harganya di atas Rp 10 juta. Selanjutnya kelas diva, dengan harga Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Terakhir kelas princess, yang ditujukan bagi tas seharga Rp 5 jutaan.

Jenis tas couture nilai sewanya sekitar Rp 1,8 juta per bulan. Diva dibanderol sekitar Rp 900.000 per bulan, sedangkan princess memiliki tarif sekitar Rp 550.000 per bulan. Ada keistimewaan lain apabila menyewa tas selama sebulan. “Bisa ditukar dengan jenis lain selama tiga kali dalam sebulan,” ungkap Jessica.

Selain itu, harga sewa juga tergantung mereknya. Misalnya merek Versace Metallic, yang harganya Rp 20 juta, dapat disewa dengan harga sekitar Rp 1,750 juta per dua minggu. Maklum, tas merek itu pernah digunakan Madonna. Ada juga merek Fendi Lace Embroidery Bag seharga Rp 30 juta, kesayangan artis Jessica Simpson, yang bisa disewa seharga Rp 2.500.000 per dua minggu.

Paling eksklusif, tas merek Hermess, yang harga jualnya Rp 120 juta, dapat disewa dengan harga Rp 6 juta per bulan. Jessica pernah menyewakan tas merek Lois Vuitton Bucket Bag, yang harganya Rp 30 juta, Rp 3 juta per dua hari. “Setelah itu, tas tersebut kami jual seharga Rp 28 juta,” tutur wanita cantik kelahiran Jakarta, 13 April 1973, itu.

Mereka yang tak sempat mendatangi gerai bisa mengunjungi gerai maya di situs Smart Diva. Di situs ini terdapat formulir khusus untuk penyewaan tas. “Bisa juga formulir itu difaks,” kata Jessica. Persyaratan untuk menyewa tas ini tergolong mudah. Cukup mengisi formulir pendaftaran serta menyertakan fotokopi KTP/paspor dan berdomisili di Jakarta.

Kini Smart Diva telah memiliki 120 pelanggan, dengan jumlah item tas sebanyak 27 buah. Setiap bulan dilakukan pembaruan jenis tas. Mayoritas penyewa berasal dari golongan menengah ke atas. Mulai mahasiswa, eksekutif muda, hingga ibu-ibu rumah tangga. “Pokoknya, segala lapisan masyarakat,” ujar Jessica.

Blogroll

Performa Maksimal Si Minim Bicara

Tanpa banyak basa-basi, Yann Tiersen memperlihatkan kelasnya. Ia sampai tampil dua kali dalam semalam.

Berkaus oblong cokelat, celana jins robek, dan sepatu kets merah, dengan rambut pirang acak-acakan, Yann Tiersen terlihat santai. Tak banyak kalimat keluar dari mulutnya selain, “Halo, dan terima kasih.” Bicara agak panjang ketika ia memperkenalkan anggota bandnya: Ludovic Morilllon (drum), Stephane Bouvier (bas), Marc Sens (gitar), dan Anne-Gael Bisquay (kontra-bas).

Ia juga tak mau berpayah-payah menyebut setiap judul lagu yang akan dibawakan. Ketika bernyanyi, ia lebih banyak menunduk sambil memainkan instrumen yang dipegangnya. Yann seakan larut dalam 22 komposisi, dari 24 yang disiapkan, yang durasinya lima sampai 10 menit. Apik, penuh penjiwaan, dan dimainkan penuh talenta.

Yann Tiersen adalah musisi multitalenta, berpendidikan musik klasik. Jangan tanya apa aliran musik yang sebenarnya dia usung. “Saya tidak mau mendefinisikan musik saya,” katanya. Sedikit bocoran, ia mengaku, musiknya kali ini bisa dimasukkan ke dalam sub-genre electronic rock. Musiknya lebih kental dengan unsur Eropa.

Datang dalam rangkaian tur dunia bertajuk “On Tour” atas prakarsa Pusat Kebudayaan Prancis, Yann tampil di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis malam pekan lalu. Ratusan penonton memadati gedung itu. Di luar gedung masih ada 50-an orang yang tak kebagian tempat duduk. Usai pertunjukan pertama, Yann tampil lagi untuk mereka.

Malam itu, Yann memperlihatkan semua yang disebutnya tadi. Namun ia tak mau mengulang penampilan di Festival Transmusicales di Rennes pada 1997, yang terkenal itu. Saat itu, Yann tampil sendirian di atas panggung, berpindah dari satu instrumen ke instrumen lain.

Yang masih sama ialah tampilan peranti non-instrumen musik dalam beberapa komposisi yang dibawakannya. Pada La Perceuse, misalnya, ia mengusung bor listrik ke atas panggung. Bor itu ditempelkan pada dawai gitar. Suara yang dihasilkan mengundang tepuk tangan penonton. “Saya pernah menggunakan panci dalam konser,” tuturnya.

Kemampuannya memainkan dua instrumen secara bergantian diperlihatkan Yann dalam komposisi bertajuk La Crise. Di sini ia memainkan gitar dan biola. Di Macro Boules, kepiawaiannya memainkan biola kembali diperlihatkan Yann.

Puncak keterlibatan penonton ialah saat tembang Amelie dibawakan Yann. Penonton yang memadati venue ikut menyanyikan lagu yang menjadi salah satu pengisi album soundtrack film berjudul sama itu. Album ini mungkin yang paling laris dari antara seluruh kumpulan karya Yann. Ia terjual hingga 1,4 juta keping di seluruh dunia.

Lahir di Brest, Prancis, pada 23 Juni 1970, Yann memperlihatkan bakat musiknya sejak kecil. Di usia enam tahun, ia piawai memainkan piano dan biola. Enam tahun kemudian, Yann tergabung dalam band rock bernama Wart. Di sini ia memainkan keyboard. Ketika band itu bubar, Yann kembali ke piano dan biola.

“Kedua instrumen ini yang paling cocok untuk bereksplorasi,” katanya. Baru pada 1995 Yann melepas album debutnya. Album instrumental itu ia beri judul “La Valse Des Monstres”. Tahun berikutnya, Yann kembali mengeluarkan kumpulan karyanya. Kali ini, ia memberi judul “Rue des Cascades” (nama jalan yang ada di dekat rumahnya).

Album “Rue des Cascades” bahkan dipakai untuk film Erick Zonka, sutradara film La Vie Revee des Anges. Lagunya berjudul La Rupture pun digunakan pada film Alice et Martin. Selepas album ketiga, “Le Phare”, yang berjarak tiga tahun dari album sebelumnya, Yann banyak didaulat untuk membuka konser grup-grup besar, seperti Les Tetes Raides di Festival Francofolies-La Rochelle, Dick Annegarn di Bataclan-Paris, dan Portishead di Festival Route du Rock.

Lantas, bersama Christian Quermalet (gitaris-vokalis grup The Married Monk) dan Claire Pichet, Yann mengeluarkan ”Le Phare” versi baru. Penjualan album ini bahkan mencapai 100.000 kopi. Pada 1999, Yann membuat rekaman bersama The Married Monk, dengan menggarap beberapa komposisi dari album ”Le Phare” dengan vokal Yann.

Tahun 2001, ia kembali menelurkan album “L’Absente” yang sukses di Prancis dan terjual lebih dari 150.000 kopi. Tak hanya itu, Yann juga menggarap soundtrack film Good Bye Lenin! karya sutradara Jerman, Wolfgang Becker, pada 2003.