Blogroll

Ambon, Riwayatmu Kini …

“Ambon sekarang sudah tenang dan aman,” ungkap Helma Alkatiri. Ibu satu anak ini memutar kembali memorinya terkait konflik horizontal di Ambon 19 Januari tahun 1999. Helma mengalami pahit getirnya konflik horizontal itu. Kala itu, ia bergegas hendak silahturahmi ke rumah para tetangga. Tiba-tiba telepon berdering dari saudaranya yang menggabarkan terjadi perkelaian di kawasan terminal Mardika dan di Batu merah. Kawasan tersebut berjarak sekitar 5 kilometer dari rumahnya di belakang Jl. A.Y. Patty dpusat kota. “Saya langsung gemetar mendengarnya,” ungkap perempuan kelahiran Ambon, 26 April 1960 ini.

 Waktu berputar begitu cepat. Konflik pun pecah. Ia beserta keluarga mengungsi ke rumah tetangganya. Setelah tiga hari, ia pun mengungsi di Mesjid Al Fatah, Ambon. “Saya hanya bawa yang penting saja seperti pakaian, ijasah, “katanya. Menuju ke mesjid Al-Fatah, ia harus melewati pecahan-pecahan kaca dan serpihan-serpihan batu yang bertebaran. Mesjid terbesar di kota Ambon yang terletak di Jalan Sultan Baabullah. Disana, ia hidup bersesak-sesakan dengan ribuan pengungsi lainnya. Pakaian yang ia gunakan seadanya saja. “Asal selamat, sudah lebih bagus,” katanya. Usai itu, ia pindah di rumah saudaranya selama dua minggu.

 Sebulan kemudian, ia mengungsi sementara ke rumah saudaranya di Surabaya, Jawa Timur. Menggunakan kapal laut bukan perkara mudah. Ia harus berdesak-desakan dengan ribuan pengungsi lainnya yang hendak menyelamatkan diri. Barangnya tak bisa diangkut lewat tangga tapi menggunakan tali yang ditarik dari atas. “Seng akan naik kapal lai,” ungkapnya.

Hanya dua minggu, Helma di Surabaya. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Ambon. “Bagaimanapun Ambon tetap tanah kelahiran beta,” katanya. Sekarang, ia memilih tinggal di rumahnya di kawasan Air Kuning, Ambon.

Ambon, sekarang mulai mempercantik diri. Lihat saja, di jantung kota Ambon di kawasan Jalan A.Y. Patty. Medio tahun 1999 hingga 2004, masih banyak bangunan-bangunan yang rusak akibat konflik. Warna hitam bangunan karena dilalap api, mendominasi pemandangan di kawasan tersebut. Suasana semakin terkesan kumuh, karena bangunan di kawasan itu digunakan sebagai tempat pengungsian. Gantungan baju tergantung di jendela-jendela tertebaran.

Kala itu, tak banyak pertokoan yang beraktivitas. Jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Sekarang, kawasan A.Y. Patty terasa hidup karena roda perekonomian mulai bergulir. Hampir semua, toko telah aktif kembali. Mulai dari toko emas, toko swalayan hingga kantor tour and travel dibuka. A.Y. Patty merupakan salah satu dari empat ruas jalan utama di kota Ambon. Tiga di antaranya adalah Anthony Rhebok, AM Sangadji dan Sultan Baabullah.

Muntamah, pemilik rumah makan ‘Arema’ di kawasan Sultan Hairun menggatakan, awal membuka rumah makan tahun 2003, keadaan di kawasan tersebut maish sangat sepi. “Tokonya masih bisa dihitung dengan jari,” ungkapnya kepada GATRA. Tapi Muntamah tetap membuka warung makan mulai pukul 9 pagi hingga pukul 9 malam. Mengingat minimnya warung makan di kawasan tersebut, dalam sebulan, ia bisa meraup omzet hingga Rp 20 juta tahun 2003. Sekarang, dengan ramainya warung makan, ia mengaku hanya mampu meraup keuntungan sekitar Rp 5-10 juta. “Sekarang, dimana kaki melangkah, selalu ada toko,” katanya.

Ambon Plaza (Amplaz) merupakan satu-satunya tempat pembelanjaan terbesar di kota Ambon. Amplaz berlantai empat ini didominasi toko pakaian hingga kebutuhan sehari-hari. Eskalator di Plaza tersebut tak berfungsi. Sebuah departemen store ternama, terdapat di dalamnya. Hanya saja, dikarenakan pendingin ruangan yang tak berfungsi, membuat susana di dalamnya terasa pengap. Ditambah lagi, banyaknya orang yang hendak belanja atau sekedar jalan-jalan di lokasi. Tapi, mereka masih tetap menikmati melakukan aksi belanja atau sekedar cuci mata. Sebagai alternatif, dipasanglah kipas angin di beberapa sudut, walaupun itu toh tak membantu.

Jika malam menjelang, pertokoan di Amplaz pun tutup. Hanya sebuah departemen store yang masih tetap buka hingga pukul sembilan malam. Sebagai alternatif, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di ruas jalan utama di kota Ambon. Lihat saja, kalau malam minggu tiba. Kawasan di Jalan Sultan Baabullah dipenuhi warga mulai dari tua-muda tumplek-blek di lokasi itu. Kafe-kafe pun mulai dibanjiri orang. Di dalam kafe dilengkapi pertunjukan musik secara langsung. Begitupula banyak warung kopi yang bertebaran.

Kawasan Pasar Mardika yang diduga menjadi tempat awal terjadinya pertikaian pun sekarang semakin ramai. Tak ada sekat-sekat wilayah seperti dulu. Ini tentu berbeda pada saat konflik pecah. Syaiful, salah satu pemilik toko kelontong di kawasan mardika menggatakan, situasinya saat ini lebih aman dan nyaman. Ia kembali membuka toko pada tahun 2003. “Waktu itu lampu sering mati. Buka toko paling hanya 2-3 jam saja,” ungkapnya. Sekarang, ia berani membuka toko hingga pukul 9 malam.

Di Jalan Yos Sudarso, terdapat pantai Losari. Di lokasi tersebut, jika malam tiba, dipenuhi kafe-kafe tenda. Hinggar binggar musik terdengar. Makanan yang dijual kebanyakan makanan ringan seperti jagung rebus, kacang rebus hingga air jahe.

Untuk buah tangan alias oleh-oleh, Ambon menyajikan banyak hal. Mulai dari minyak kayu putih asli, perhiasan dari besi putih, hingga beragam makanan. Makanan kebanyakan yang terbuat dari sagu dan kenari. Sayangnya, sudah hampir enam bulan listrik di kota Ambon sering padam. Dalam sehari, listrik kerap mati selama 4-5 jam. Bahkan bisa lebih dari lima jam. Ini tentu saja membuat roda perekonomian di kota Ambon menjadi terganggu. Aktivitas masyarakat pun mengalami hambatan. (RA)

Leave a comment