Blogroll

Merajut Damai dari Puing Konflik

Ia menggagas, mengawali, dan membuka sekolah perempuan untuk ibu-ibu korban konflik Poso. Kiprah dan kurikulum damainya untuk perempuan serta anak-anak dianugerahi Coexist Prize.
 
Meski hanya beralaskan tikar atau kursi seadanya, para perempuan dari berbagai suku, agama, dan golongan itu tampak antusias mengeluarkan ide-idenya. Suasana cair di sebuah sekolah perempuan (SP) di Poso, Sulawesi Tengah, tersebut tidak begitu saja dihadirkan dalam waktu sekejap. Adalah Lian Gogali yang memulai merajut benang saling percaya itu tumbuh, setelah masyarakat tercabik-cabik oleh konflik Poso 2002.
Koflik bernuansa agama itu membuat saling curiga, kebencian, dan permusuhan antar-warga masyarakat pun menyeruak. Perempuan kelahiran Poso, 24 April 1978, itu tahu benar kondisi sosial budaya masyarakat di sana. Pasalnya, pada 2002-2004, ia kerap datang ke sana dalam rangka mengerjakan tesis pascasarjana bertema konflik Poso di Fakultas Budaya dan Agama Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Gugatan muncul ketika seorang responden bertanya. “Setelah meneliti, menulis, dan mendapat gelar, lalu mau apa dengan wawancara ini?” ungkap Lian. Pertanyaan itu mengubah jalan hidupnya. “Saya memutuskan kembali ke Poso dan bekerja untuk isu perempuan dan anak-anak,” katanya.
Begitu kuliahnya kelar, ia memilih bekerja dengan Asian Muslim Action Network (AMAN) sebagai fasilitator SP yang dibangun di Poso. Ketika AMAN menghentikan programnya, berbekal pengalaman dan pembelajaran yang didapatkannya, Lian memutuskan membuat sendiri SP. “Saya percaya ada kebutuhan mendesak bagi perempuan untuk berbicara dan berpartisipasi aktif,” ujarnya.
Pada 2011, Lian mengawali angkatan pertama SP di rumah kontrakannya. Sekolah itu dinamai Mosintuwu –dari bahasa Poso yang artinya “hidup bersama”. Pada mulanya, sekurangnya 100 ibu rumah tangga biasa lulusan SD dan maksimal SMP yang beragama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha diajak bergabung. Pertemuan pertama yang diwarnai tatapan mata saling curiga perlahan cari ketika komunitas dilibatkan dalam pembuatan kurikulum.
Institut Mosintuwu yang didirikan Lian juga mengundang akademisi, budayawan, tokoh masyarakat, dan kaum perempuan untuk mendiskusikan kebutuhan bahan kurikulum sekitar seminggu. Lantas materi yang masuk dielaborasi Lian dengan bantuan Jhon Lusikooy, seorang akademisi yang juga aktivitis sosial di Tentena.
Angkatan pertama SP, Lian melanjutkan, berjumlah 80 orang saja, terdiri dari Kristen 50%, Islam 40%, dan Hindu 10%. Angkatan kedua 100 orang. Namun biasanya, menurut Lian, ada beberapa yang mengundurkan diri. Begitu lulusan pertama kelar, banyak desa yang minta agar perempuan di desanya dilibatkan dalam SP dan meminta agar SP berdiri di sana.
Melihat besarnya antusiasme, menurut Lian, SP lantas dibangun di tiga kecamatan lain, yakni Kecamatan Lage yang terdiri dari Desa Toyado, Labuan, Malei, Bategencu; Kecamatan Poso Kota yang terdiri dari Desa Bukit Bambu, Sayo, Tegalrejo; dan Kecamatan Poso Pesisir Selatan yang terdiri dari Desa Tangkura, Betalembah, Patiwunga. Mereka dari berbagai suku, seperti Pamona, Toraja, Bugis, Gorontalo, Bajo, dan Mori.
Tak mudah menggandeng para perempuan. “Ada yang datang dengan dugaan ada uang duduk, setelah tahu tidak ada, terus mundur,” katanya. Lalu, karena pesertanya ibu rumah tangga, sang suami kerap melarang. “Ada anggapan, istrinya sudah tidak memperhatikan rumah tangga dan hanya mau sekolah,” ia menambahkan.
Sementara itu, beberapa warga berpikir, bekerja atau belajar di luar rumah tanpa izin suami tidaklah baik. Muncul pula asumsi bahwa jika ikut SP, ibu-ibu berbicara lebih lantang dan melawan. “Beberapa sempat mengancam lewat SMS,” ungkapnya.
Namun ada pula warga yang mendukung karena istrinya bertambah pintar dan berwawasan ketika diajak berdiskusi. Perubahan paling nyata, menurut Lian, dirasakan para perempuan peserta SP sendiri. “Mereka mulai paham, saling menaruh respek, dan terbuka terhadap perbedaan agama yang ada,” kata perempuan yang telah menulis tiga buku, antara lain Konflik Poso: Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Ingatan, itu.
Di sebuah SP yang ada di Pamona, misalnya, sekolah dibuka para peserta dengan menceritakan persoalan yang dialami, seperti KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Lalu mereka mencoba saling mendukung, berempati, dan bersumbang saran. Kegiatan juga diisi dengan diskusi, bermain drama, menonton film, analisis film, kunjungan lapangan ke rumah ibadah agama Islam, Kristen, dan Hindu untuk mengenal dan mengetahui agama, membuat film pendek, dan permainan.
Sekolah digelar sekali sepekan selama empat jam. Dalam menjalankan SP dan sanggar anak, Lian membiayainya dari honor bekerja sebagai peneliti dan penulis. Nah, suatu ketika, seorang kawan peneliti dari Belanda merekomendasikannya untuk menceritakan mimpi-mimpinya tentang SP ke organisasi Mensen Men Een Missie. “Mereka pun membiayai operasional SP,” tuturnya.
Kali ini, SP angkatan kedua, menurut Lian, dibiayai dari hasil Coexist Prize yang diterimanya pada 20 Maret lalu di Skirball Center, Universitas New York, Amerika Serikat. Penghargaan internasional dari Coexist Foundation yang bermarkas di Inggris itu diberikan kepada mereka yang dianggap sebagai unsung hero, sosok tidak dikenal yang bekerja dan memperjuangkan isu perdamaian serta gerakan interfaith.
“Saya tidak tahu dan mendadak masuk daftar panjang nominasi. Setelah itu lupa, tidak ingat lagi,” katanya merendah. Lian terpilih dari enam nominator utama yang disaring dari 20 nominator awal. Mereka dipilih dari 300 lebih nominator yang masuk dari seluruh dunia. Lian dan para finalis lolos setelah melalui tahap penjurian yang ketat oleh Dr. Ali Gomaa, Rabbi David Superstein, Bishop Mark S. Hanson, dan Mary Robinson.
Ke depan, Lian ingin menggelar Kongres Perempuan Poso. Kongres ini untuk membuka ruang bicara perempuan Poso sera akses ruang publik dan ruang politik, sehingga perempuan bisa berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan mendapatkan keadilan. “Saya juga ingin membangun sekolah perempuan di beberapa tempat di Indonesia, juga di luar, khususnya di daerah-daerah pasca-konflik,” ujarnya.

Leave a comment