Blogroll

Curhat Puisi Ratih Sanggarwati

Rajin menulis puisi sejak 1998, Ratih Sanggarwati rupanya cukup produktif. Jumat pekan lalu, ia melepas buku kumpulan puisinya yang ketiga, bertepatan dengan hari jadinya ke-44 tahun. Surat untuk Ayah, begitu ia memberi judul buku berisi 50 puisi itu.

Namun, untuk urusan membacakan puisinya, wanita kelahiran Ngawi, Jawa Timur, ini baru punya nyali melakukannya pada tahun 2000. Rupanya banyak yang menyukai gayanya hingga ia banyak diundang untuk itu. Kadang undangan dakwah, yang juga makin sering mampir, dipadukan dengan acara membaca puisi.

Mantan model Tanah Air yang pertama kali go international pada 1989 ini memiliki pengalaman menarik saban membaca puisi. Suatu kali, misalnya, ia didatangi seorang wanita. Di pelukannya ada sebuah tas. Rupanya wanita itu mau ”curhat”. “Ia merasa bersalah karena membeli tas seharga US$ 5.000,” ungkap ibu tiga putri ini.

Blogroll

Fusi Barat-Tengah-Timur

Di tengah ironi perjuangan para pengusung musik tradisional, sebuah konsep anyar disodorkan. Diharapkan langgeng.

Mencoba menggabungkan barat-tengah-timur. Itulah niat perhelatan bertajuk “Satu Bumi Beribu Bunyi”. Lihat saja kelompok musik yang tampil. Ada Nera yang mewakili Indonesia bagian timur. Bagian tengah diwakili Geliga Malay Jazz. Sedangkan bagian Jawa-Bali disajikan Kua Etnika.

Niat ini bermula dari percakapan antara Gilang Ramadhan dan Djaduk Feriyanto di Yogya, beberapa waktu silam. Satu tema mencuat: membangkitkan musik tradisional. Apalagi, saat manggung di luar negeri, begitu Gilang membagi pengalaman, ia kerap mendapat pertanyaan tentang jumlah musik tradisional Indonesia.

Tetapi wacana itu mengendap cukup lama. “Tak gampang mewujudkannya,” ucap Gilang, pemimpin Nera. Faktor dana menjadi kendala utama. Pemerintah tak sepenuhnya bisa membantu dari sisi itu. Berpaling ke swasta, sebuah syarat kerap muncul: ditonton banyak orang.

Ironi macam itu sampai sekarang pun masih dirasakan para musisi yang mengusung aliran world music. Maka, ketika Kamis malam pekan lalu niat itu terwujud, jumlah penonton yang memadati lapangan parkir Taman Ismail Marzuki, Jakarta, masih menunjukkan bahwa aliran musik satu ini belum sepopuler pop atau rock. Hanya sekitar 200 pasang mata menyaksikan acara tersebut. Padahal, panitia tidak mengutip tiket masuk sama sekali. Walau begitu, penonton, yang kebanyakan ABG alias anak baru gede, tampak asyik menikmati pertunjukan yang disponsori Djarum Super itu.

Malam itu, Geliga Malay Jazz menjadi pembuka pertunjukan. Kelompok musik pimpinan Heri Syahrial ini mengusung musik tradisional Melayu yang dicampur dengan jazz. Geliga membawakan enam komposisi, yang masing-masing disajikan dengan tempo berbeda-beda.

Pada Promise Land, Geliga menggunakan tempo langgeng Melayu. Di Pantai Lumpur, tempo inang dengan ritme Melayu yang disodorkan. Napas Melayu makin kental terasa dengan penggunaan alat musik macam akordeon, tabla, dan bebane.

Kalau ada penampil paling bagus malam itu, Kua Etnika-lah jawabnya. Enam lagu yang disajikan semuanya mendapat aplaus panjang dari para penonton. Ini sambutan wajar. Maklum, kelompok musik ini merupakan dedengkot musik tradisional.

Kua Etnika sering tampil di konser berskala dalam atau luar negeri. Dimulai dari JakJazz I di Jakarta (1997), diundang oleh Akademia Kebangsaan Malaysia untuk memberi workshop (2001), hingga tur Eropa bertajuk “Everlasting Kretek Heritage” (2004).

Lagu yang ditampilkan tak sekadar menyodorkan unsur tradisional. Kua Etnika juga melebur musik modern ke dalam musik tradisional. Lihat saja lagu Mission Impossible, yang dipadupadankan dengan bebunyian gamelan Jawa dan Bali.

Cara Djaduk tampil di panggung pun menunjukkan bahwa dia bintang panggung pada malam itu. Terkadang tampil celetukan-celetukan khas dengan logat Jawa yang medok. “Wis, nggak mbayar kok ribut,” katanya kepada penonton. Tetapi celetukan itu yang malah menimbulkan gelak tawa penonton.

Dari ketiga kelompok musik itu, Nera mungkin yang tampil kurang gereget. Upaya menonjolkan olah vokal Ivan Nestormen tampaknya tidak berhasil. Vokal Ivan tenggelam karena ramainya dentuman drum Gilang. Padahal, Ivan telah berusaha tampil maksimal ketika menyanyikan lagu dalam bahasa Flores Manggarai.

Musik yang diusung Nera lebih berbau modern daripada tradisional. Hanya lirik lagu dalam bahasa Flores yang menjadi ciri khas grup musik itu.

Blogroll

Karya Tanpa Tenggat

Digarap setahun, album perdana Andi Rianto dilepas. Musik serius dipadankan dengan lirik romantis.

Magenta: The Album
Interlude dari Hati…
Warner Music Indonesia

Cukup lama dikenal sebagai orang di belakang layar, Andi Rianto akhirnya merilis album sendiri. Bersama Magenta, ia melepas kumpulan karya berjudul “Interlude dari Hati”. Identitas Andi terasa betul di album ini. Warna lembut, halus –tapi kolosal dan megah–terdengar di semua tembang pengisi album ini, walau secara merendah ia berujar, “Ini album easy listening.”

Di sini, Andi merangkul sejumlah penyanyi yang belum terkenal. Mungkin hanya nama Lucky Octavian yang familier, karena ia sempat menjadi finalis ”Indonesian Idol”. Namun, “Saya tidak asal comot. Kualitas mereka telah teruji,” ucapnya serius. Selama ini, penyanyi macam Annisa, Farman Purnama, dan Ira Batti adalah backing vocal buat Magenta Orchestra.

Walau didukung banyak talenta bagus, penggarapan album ini berlangsung hingga setahun. Kontras betul dengan kecepatan Andi ketika menggarap album Harvey Malaiholo, misalnya, yang hanya tiga bulan. “Karena tak ada deadline,” ia beralasan.

Tapi bukan berarti Andi kurang serius. “Secara teknis, album ini sulit,” katanya. Saking seriusnya menggarap, ia jadi lebih selektif memilih lagu untuk album ini. Bahkan ia harus menepis tiga komposisi karena, “Secara insting kurang cocok.” Untungnya, Andi tidak datang dengan tema berat, melainkan dengan tema cinta universal yang mengisi tujuh komposisi vokal dalam “Interlude…”.

Lagu Pernah, yang dinyanyikan Lucky dan Annisa, misalnya, dikemas secara romantis dan mengalun indah. Lirik lagunya yang romantis tidak menjadikan lagu ini cengeng. Bantuan bunyi alat gesek dari Melbourne Symphony Orchestra, permainan bas Indro, dan petikan gitar Tohpati makin membuat lagu ini asyik didengar.

Pemeran Pengganti, yang liriknya ditulis Monty Tiwa, bisa dikatakan lebih kental unsur musik pop 1980-an. Lagu ini mengingatkan pada karya Dianne Warren serta David Foster. Dunia Tanpamu boleh jadi merupakan lagu terbaik dari keseluruhan album ini. Sebelumnya, lagu ini pernah terkenal pada era 1990-an. Tapi, kali ini, Andi mengemasnya lebih menarik. Refrainnya makin enak di telinga berkat olah vokal Ira Batti.

Andi juga mempresentasikan tiga komposisi instrumentalia: Tak Kembali, Padre & I, serta Bee. Ketiganya memiliki ciri dan daya jelajah berbeda, walau masih berada pada koridor musik anak muda lulusan Berklee College of Music, Boston, Amerika Serikat, itu.

Blogroll

Bengkung Ramping Rossa

Agar tetap langsing pasca-melahirkan, Rossa, 28 tahun, rela memakai bengkung selama sebulan lebih. Penyanyi mungil kelahiran Sumedang, Jawa Barat, ini mengaku, berkat bengkung, berat badannya turun 7 kilogram dalam sepekan. Tak mengherankan jika berat badannya pun kembali ke angka normal, 45 kilogram.

Hanya saja, saat memakai bengkung, ia merasa mual setiap usai makan. ”Rasanya tersiksa banget. Tapi cara tradisional ini ampuh,” kata ibunda Rizki Langit Ramadhan yang lahir Oktober lalu ini. Bengkung masih asing bagi kebanyakan orang masa kini. Padahal, sejak dahulu kala, bengkung terbukti bisa menormalkan kembali bentuk tubuh perempuan setelah melahirkan.

Bengkung adalah sejenis kain seperti stagen tapi lebih lebar dan pendek. Kain ini dililitkan dari bawah dada hingga pinggul. ”Mamaku yang membantu memakaikan. Dulu Mama memakai sampai enam bulan,” ujar pemilik nama asli Sri Rossa Roslaina Handayani.
Setelah kembali ramping, istri drummer band Padi, Yoyo, ini merasa pede tampil di videoklip Atas nama Cinta. Proses rekaman single yang menjadi andalan album terbaru ”Yang Terpilih” ini dimulai sejak usia kehamilannya lima bulan. “Nggak seru kalau videoklipnya memuat gambarku yang sedang ndut,” ungkap Rossa sembari tertawa.

Blogroll

Nabung Kreatif Safir Senduk

Bermodalkan plastik bekas wadah selai roti, Safir Senduk memupuk kebiasaan menabungnya. Tiap pagi, pria kelahiran Jakarta, 19 Desember 1973, ini memasukkan uang Rp 100.000 ke dalam celengan itu. ”Kalau tidak pagi hari, bisa lupa,” katanya  Bila ke luar kota, Safir melakukannya sehari sebelumnya.

Ia tak hanya punya satu celengan itu. Sebuah lagi dibuat khusus untuk menampung uang kembalian. Tiap celengan memiliki tujuan masing-masing. Yang berisi pecahan besar sebulan sekali dikosongkan. Uang yang terkumpul dimasukkan ke reksa dana. ”Tapi tidak boleh diambil-ambil,” katanya.

Sedangkan uang di celengan satunya bisa dipakai kapan saja. ”Kalau mau beli sayur, ya, diambil dari celengan ini,” ujarnya. Kebiasaan itu dilakoni Safir selama tiga tahun terakhir. Ia mengaku akan terus berusaha mempertahankan kebiasaan baik tersebut. Ihwal dipilihnya wadah bekas selai roti juga memiliki alasan tersendiri. ”Saya senang melihat uang yang ada di dalamnya,” kelakar Safir.

Blogroll

Kepolosan yang Menggemaskan

Tukul Arwana menyodorkan fakta ini: pelawak katro plus skrip bagus menghasilkan rating tinggi. Dikontrak hingga 266 episode.

Seperti beberapa tahun lalu, gaya lawakan Tukul Arwana tetap sama. Kedua tangannya seakan menjumput, rambut crew cut kotak, dan bertepuk tangan seperti si topeng monyet. Tambahan terbarunya ialah gaya itu disandingkan dengan gestur baru: dua jari diarahkan ke mata lalu ke arah laptop.

Serta melontarkan kalimat khas: ”Kembali ke laptop!” Kalimat itu kini menjadi guyonan generik ketika sebuah rapat atau presentasi kantoran menemukan jalan buntu. Disodori acara berformat ‘ariety (talk) show saban Senin-Jumat selama sejam sejak pukul 22.00 oleh Trans 7, jelas saja kalimat itu terserap dengan baik.

Walau diucapkan puluhan kali, kalimat itu tak membosankan. Ia justru menjadi identitas acara bertajuk ”Empat Mata” tersebut. Ibarat sayur tanpa garam, begitu pula yang terjadi antara kalimat ”kembali ke laptop” dan acara itu. Gaya kampungan Tukul menjadi bumbu lain yang menyedapkan sajian ”Empat Mata”.

Ditambah kalimat ”narsis” yang terlontar –misalnya ”saya kan coverboy” dan ”acara ini terkenal di tiga negara”– lalu bahasa Inggris asal jadi (”Jangan lupa paswednya fish to fish”), serta ”serangan” usil, jail, melecehkan (misalnya, ”Cantik-cantik kok lamban,” kata Tukul kepada Davina ketika sang model agak kurang cepat menjawab pertanyaannya), makin lengkap kehebohan acara tersebut.

Makin acara itu ancur (begitu seorang teman saya menyodorkan stempel buat program itu), gelak tawa penonton di Studio Hanggar, tempat syuting acara tersebut, dan ratusan ribu pasang lainnya di depan layar kaca makin nyaring terdengar.

Namun bukan berarti Tukul benar-benar bodoh ketika menggiring beberapa narasumber ke tema besar satu episode. Ketika Maria Eva mengklaim dirinya adalah korban, Tukul dengan cepat menyodorkan kalimat: ”Kira-kira dibanding korban lumpur Lapindo, lebih menderita mana?”

Semua orang tahu bahwa pertanyaan yang dilontarkan Tukul diarahkan oleh tim pimpinan Andri Loenggana, produser acara tersebut. Namun, kalau bukan Tukul yang membacakannya, mungkin ”kepolosan yang menggemaskan” tak akan tercipta. ”Lho, ini kan pertanyaan tadi. Kok, belum dihapus?” katanya, sambil melihat ke operator yang mengendalikan laptop ketika hendak membacakan pertanyaan baru.

Narasumber yang dihadirkan pun tahu bagaimana bergantungnya Tukul pada laptop-nya, walau ia mengaku ”gaptek”. ”Nutup aja nggak berani. Takut rusak,” katanya. Personel Project Pop, misalnya, lantas menyembunyikan laptop tadi (juga kertas contekan cadangan). Walhasil, Tukul pun gelagapan.

Ketika banyolan macam itu tak bisa dihadirkan narasumber lain, mereka melakukannya dengan cara mempermainkan atau mengolok-olok pertanyaan yang dilontarkan Tukul. Pepeng, drummer band Naif, misalnya, tanpa disangka-sangka naik ke punggung Tukul, lalu bergaya seperti koboi. Atau Indra Birowo yang tak segan-segan meminta Tukul mencium ketiaknya.

Menonton ”Empat Mata” jadinya seperti menyaksikan Srimulat dengan penampilan baru. Tukul dan penggagas program itu menampik format yang meniru talkshow ringan luar negeri. Atau mengikuti format hampir serupa yang pernah disodorkan beberapa stasiun televisi lain sebelumnya.

Kalau format acara ini akhirnya seperti sekarang, itu tak lepas dari hasil kompromi stasiun televisi tersebut atas persyaratan yang diajukan Tukul. Pria kelahiran Semarang, 16 Oktober 1963, ini menolak peran pembawa acara atau moderator walau tahu program yang dibawakannya mengisyaratkan perlunya bobot.

”Saya lebih percaya diri sebagai pelawak,” begitu alasannya. Pihak Trans 7 setuju. Demikian juga ketika Tukul meminta tak ada jarak antara dirinya dan para penonton yang berjumlah sekitar 200 orang itu.

Kompromi itu sekarang dinikmati Trans 7. ”Empat Mata” meraih rating 3,3 dengan audience share 13,1. Bila semula acara itu hanya ditayangkan sekali seminggu, kini menjadi lima kali (ditayangkan live pada Selasa, Rabu, dan Kamis, serta rekaman pada Senin dan Jumat).

Tukul pun mendapat rezeki. Jika awalnya dia dikontrak hanya 13 episode, lantas menjadi 26 episode, kini kontraknya menjadi 266 episode. Penggemarnya bertambah banyak, hingga ada yang memasukkan profilnya di situs Wikipedia Indonesia.

Blogroll

Mengorbit Lewat Hewan Melata

globaltv.co.idPembawa acara reality show “Panji Sang Penakluk” ini bercita-cita menjadi sehebat Steve “Crocodile Hunter” Irwin. Mengakrabi ular sejak usia dua setengah tahun

Ular kobra itu dalam posisi siap menyerang. Kepala dan lehernya condong ke belakang, mengambil ancang-ancang. Mulutnya mendesis. Sesekali lidahnya keluar-masuk. Kalau sudah begini, seekor babun pun biasanya tak berani mendekat. Kuda liar juga memilih menghindar. Maklum, si ular sendok siap mengirim serangan maut.

Tapi Muhammad Panji malah bersemangat menggodanya. Ia menangkap ekor binatang melata itu, kemudian mengangkatnya. Si ular menyemburkan uap berbisa. Wush! Kena muka Panji. Untunglah ia mengenakan kacamata pelindung. Tapi tak urung uap berbisa menyerempet mulutnya. “Rasanya pahit sekali,” ujar Panji dengan mimik jenaka.

Ular terpaksa dilepas. Usai membasuh muka dan berkumur dengan sebotol air putih, Panji mengulang atraksinya. Kali ini berhasil dengan mudah. Ekor ular dicekal, mulutnya dibungkam dengan cengkeraman jemari. “Ular ini sangat berbisa,” ia berkomentar. Ular kemudian dimasukkan ke dalam kotak yang dibawanya.

Pada kesempatan lain, Panji menaklukkan ular piton sebesar paha orang dewasa. Panjangnya enam meter. “Ular ini tidak berbisa. Tapi belitannya sangat kuat dan berbahaya,” komentarnya pula. Begitulah gaya Panji, remaja berusia 14 tahun, menghibur dan mengedukasi pemirsa lewat tayangan “Panji Sang Penakluk” (”PSP”) di Lativi.

Di acara itu, Panji menjadi presenternya. Gaya bicaranya yang luwes, pengetahuan cukup tentang ular, dan tentu saja didukung kepiawaiannya menaklukkan reptil tersebut membuat ”PSP” yang tayang perdana September tahun lalu ini cukup menarik ditonton. Kini ”PSP” digeber dua kali sepekan, Senin dan Sabtu, pukul 20.00. Bahkan Senin petang ada tayang ulang.

Dunia reptil, khususnya ular, diakrabi Panji sejak balita. Jangan kaget, umur dua setengah tahun ia menangkap sendiri seekor ular hijau. Kala itu, anak tunggal ini tinggal bersama orangtuanya –pasangan Ajiyana-Lina– yang bertransmigrasi di wilayah Kapuas, Kalimantan Tengah. Belakang rumah mereka masih dipenuhi hutan belukar.

Suatu hari, ketika bermain di belakang rumah, Panji menampak seekor ular hijau di pohon jarak. Bukannya ketakutan, ia malah riang. “Saya tangkap saja ular itu,” tutur siswa kelas III SMPN 2 Purwakarta, Jawa Barat, ini. Ular dipamerkan kepada ayahnya. Kontan sang ayah kaget dan marah-marah. Ular itu dibuangnya.

Panji menangis sejadi-jadinya, minta dicarikan ular lagi. Terpaksalah sang ayah menangkap seekor ular. Tangis Panji pun berhenti, berganti tawa riang. Ular itu dipelihara dan menjadi teman main. Kalau tidur, dikeloninya. Tapi, lantaran ular itu kurus dan stres, Panji kasihan, lalu melepasnya.

Sejak itulah Panji kecil makin kepincut ular. Setiap melihat ular, pastilah ia menangkapnya. Pindah ke Aceh, usia kanak-kanak, kegemarannya kian menjadi. Bocah kelahiran 27 Juli 1992 ini kerap menangkap ular sanca. Ular dililitkan di lehernya, lalu dipamerkan kepada teman-temannya. Tentu saja teman-temannya ketakutan.

Tahun 1998, Panji ikut orangtuanya pindah ke Purwakarta. Ia bersekolah di SD tak jauh dari rumahnya. Kalau di Aceh ia menggoda teman-teman sepermainan, di tempat tinggal barunya ini ia mengerjai teman-teman sekelasnya. Sering ia membawa ular dan melepasnya di kelas. Ketika murid-murid geger, ia enak saja mengamankan si ular.

Bertambah usia, bertambah pula kemahiran Panji menaklukkan ular. Menurut Panji, ia mengasah keterampilannya itu secara alamiah saja. Ia juga rajin bertanya kepada para pawang ular. Untuk dapat menaklukkan ular, kuncinya harus tahu sifat dan tingkah laku si ular. Baru belakangan ia rajin belajar tentang ular dari buku dan internet.

Karena kebolehannya ini, Panji pun ngetop di kampungnya. Wajah dan namanya mulai “go national” setelah ia diwawancara media massa, terutama televisi. Ketika duduk di kelas IV SD, ia menjadi bintang tamu acara “Hati ke Hati” di TV 7 (sekarang Trans 7) sebagai bocah unik yang bersahabat dengan ular.

Panji juga pernah tampil sebagai bintang tamu dalam acara “Buka Mata” dan ”Surat Sahabat” di Trans TV serta “Petualangan Liar” di TV 7. Belakangan, Lativi tertarik menjadikannya host dalam ”PSP”. Waktu itu, kebetulan stasiun televisi ini menginginkan tayangan reality show yang alami dan berhubungan dengan binatang.

Dari berbagai diskusi, pihak produser akhirnya menjatuhkan pilihan pada Panji. Menurut Ridwan S. Nugraha, salah satu produser ”PSP”, Panji adalah sosok yang tepat. “Dia cerdas dan alami dalam beraksi,” ujar Ridwan mengomentari sosok Panji yang pernah beratraksi masuk dalam akuarium berisi 1.500 ekor ular kobra.

Rekaman sekaligus penjelajahan Panji dilakukan di sejumlah tempat. Mula-mula di wilayah Purwakarta, lalu ke Jambi, kemudian ke Lampung. Panji yang berkostum mirip Steve “Crocodile Hunter” Irwin –kemeja dan celana pendek warna cokelat, plus sepatu bot– menerabas semak belukar dan rawa dalam upaya mencari ular.

Beberapa kali Panji celaka. Ia pernah digigit ular lantaran terlalu berkonsentrasi ke kamera. Juga beberapa kali disembur bisa ular kobra. Malah waktu itu pernah ia tak memakai kaca mata pelindung. Akibatnya, empat jam matanya perih dan pandangannya kabur. Untunglah tidak buta atau keracunan. Mungkin tubuhnya imun lantaran sejak kecil akrab dengan bisa ular.

Panji mengaku sangat mengagumi mendiang Steve Irwin, si penyayang satwa, naturalis, aktivis lingkungan sekaligus bintang TV program dunia fauna yang terkenal lewat Animal Planet dan Discovery Channel. Irwin tewas ditusuk duri ikan pari ketika mengerjakan film dokumentasi berjudul ”Ocean’s Deadliest di Greta Barrier Reef”, Australia, tahun silam.

“Dia sangat luar biasa,” kata Panji, yang bercita-cita bisa menjadi presenter sehebat Irwin. Cita-cita lainnya, bocah yang beranjak remaja ini ingin menjadi ilmuwan tentang kehidupan binatang, khususnya reptil. Semoga.

Blogroll

Antara karier dan Kuliah Joanna Alexandra

Kalau mau buat janji dengan Joanna Alexandra, sebaiknya dilakukan selepas tengah hari saja. ”Saya bukan tergolong good morning person,” kata pemeran Alice dalam film Lewat Tengah Malam ini. Namun alasan utamanya bukan karena dara kelahiran Jakarta, 23 April 1987, itu tak bisa bangun pagi.

Padatnya jadwal syuting adalah penyebabnya. Biasanya ia memulai pekerjaannya itu selepas mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta. Biasanya, menjelang dini hari, baru syuting itu selesai. Walhasil, kelelahan luar biasa dirasakan pendukung film Catatan Akhir Sekolah ini. Saking capeknya, Joanna pernah tertidur di ruang kuliah.

Tapi Joanna tak lantas melepas sekolah. ”Saya tak mau ketinggalan kuliah,” ujarnya kepada Rach Alida Bahaweres dari Gatra. Semester ini, di antara syuting serial Jomblo, bungsu dari dua bersaudara itu dibebani 18 SKS. Nah, kalau sudah begini, meminjam catatan teman menjadi salah satu jalan keluar buatnya.

Blogroll

Fenny Martha Dwivany: Menikmati Hidup di Laboratorium

Fenny Peneliti muda ini pemenang UNESCO-L’OREAL Fellowships For Women in Science 2007. Menjadi duta Benua Asia untuk berlaga di arena peneliti tingkat dunia.

Peneliti yang satu ini modis penampilannya. Rambutnya pendek dengan highlight warna blonde. Saat ia berbicara, tampak behel warna pink menghiasi gigi putihnya. Kacamata minus membingkai wajah ovalnya. Dialah Dr. Fenny Martha Dwivany, pemenang UNESCO-L’OERAL Fellowships for Women in Science 2007.

Fellowship internasional yang berlangsung sejak tahun 2000 itu dikhususkan bagi peneliti perempuan muda di seluruh dunia. Fenny adalah perempuan Indonesia kedua yang mendapatkan penghargaan tersebut. Sebelumnya, Dr. Ines Admosukarto, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, meraih penghargaan serupa pada 2004.

Fenny, yang meraih gelar doktor bidang biologi molekuler dari University of Melbourne, Australia, menjadi salah satu dari 15 pemenang fellowship internasional. Penganugerahannya berlangsung pada 22 Februari 2007 di Paris, Prancis. Selanjutnya ia mewakili Benua Asia bersama peneliti dari Thailand dan Uzbekistan untuk berlaga di tingkat dunia.

Ajang bergengsi di bidang penelitian ini diikuti 180 peserta dari 20 negara. Setiap benua, yakni Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan Asia, diwakili tiga pemenang. Sebelum bersaing di level internasional, setiap peneliti mengikuti ajang UNESCO-L’OREAL Fellowships For Women in Science di tingkat negara.

Di Indonesia, ada ratusan peserta. Dari hasil penilaian juri, Fenny masuk lima besar tingkat nasional pada Agustus 2006. Kemudian dipilih dua finalis yang akan mewakili Indonesia di level internasional. Fenny terpilih bersama Dr. Fatma S. Wahyuni dari Universitas Andalas. Masing-masing mendapat hadiah uang tunai Rp 50 juta.

Dalam penjurian tingkat internasional yang berlangsung di Paris, Fenny-lah yang muncul sebagai jawara. Perempuan kelahiran Bandung, 18 April 1972, ini dihadiahi beasiswa senilai US$ 40.000 atau sekitar Rp 360 juta.

Peneliti muda yang bisa bersaing dalam UNESCO-L’OREAL Fellowships For Women in Science harus memiliki proyek riset yang menjanjikan untuk mendukung awal karier di bidang ilmu pengetahuan. Syarat lainnya, minimal berpendidikan S-2 dan maksimal berusia 35 tahun.

Proyek penelitian Fenny yang dimajukan dalam lomba itu dilabeli ”Konstruksi Vektor Biner ACS yang Meregulasi Aktivitas Gen ACC Sinatase sebagai Alternatif Pengontrolan Pematangan Buah Pisang Ambon”. Awalnya, Fenny sempat minder dengan tema penelitiannya. Maklum, pesaingnya membahas tentang kanker dan tema lain yang kelihatan lebih ”wah”.

“Ternyata malah pisang yang menarik perhatian para juri,” katanya. Buah yang berasal dari keluarga Musacea ini dianggap sebagai salah satu jenis buah khas Indonesia. Kepala Laboratorium Analisis Kromosom dan Molekuler Institut Teknologi Bandung (ITB) ini meneliti pisang karena gemar sekali makan pisang.

Setiap kali penjaja buah datang ke rumahnya, ia selalu membeli pisang. Tapi Fenny tak bisa menyimpan pisang terlalu lama. Sebab kulit pisang yang berwarna hijau atau kuning –tergantung jenisnya– akan berubah menjadi berbintik-bintik hitam, yang membuat penampilan pisang tak menarik. Tak cuma itu, pisang yang terlalu matang tidak enak dikonsumsi karena buahnya melembek.

Ini terjadi karena pisang termasuk buah climacteric (proses pematangan terus berjalan dari mulai dipetik hingga seterusnya). Pematangan buah yang tidak berhenti itu tak menguntungkan bagi petani maupun penjualnya. Ini terutama karena dalam proses distribusi tak boleh terlambat. ”Kalau terlalu matang, pisang tak laku dijual,” katanya.

Untuk mencegah proses pematangan yang berkelanjutan, selama ini dilakukan cara ”tradisional”, yakni dengan memasukkannya ke lemari pendingan atau kardus busa. Dari persoalan yang ada di buah kegemarannya itu, Fenny tergelitik untuk menemukan teknologi yang bisa menghentikan proses pematangan pisang.

Selepas menyelesaikan program doktor di University of Melbourne, Fenny memfokuskan penelitian untuk mengisolasi gen pada 2004. Terlebih dulu ia mencari gen yang dibutuhkan dalam proses pematangan buah. ”Ada setahun untuk mencari gen itu,” ujarnya.

Lamanya proses pencarian, karena asam deoksiribo-nukleat (DNA) pisang sulit ditemukan. Padahal, DNA adalah komponen kimia utama kromosom dan merupakan bahan penghasil gen. Penyebabnya, pisang mengandung banyak zat pati alias karbohidrat. “Ini mengganggu proses isolasi gen,” katanya.

Dari hasil penelitian, Fenny menemukan bahwa gen ACO berperan dalam pematangan buah. Untuk mencegah pematangan itu, ia menggunakan metode RNA interference. Metode ini membungkam gen dengan asam ribonukleat (RNA) untai ganda. ”Jadi, proses pematangan buah dapat dihentikan pada saat yang diinginkan,” ujarnya.

Cara kerjanya, gen ACO memberi kode pada enzim atau protein. Enzim atau protein itu adalah produk dari gen. Enzim inilah yang melakukan katalisasi produksi etilen alami pada tanaman buah. Etilen merupakan hormon tumbuhan yang bersifat gas.

Nah, etilen inilah yang menginduksi buah menjadi matang atau tidak. Apabila ada etilen, buah akan matang. Tetapi sebaliknya, jika tidak ada etilen, buah tidak akan matang. Fenny lantas membuat gen ACO itu ”tidur”.

Dampaknya, enzim tidak memberi kode kepada etilen. Otomatis, etilen tidak bisa diproduksi sehingga buah tidak akan matang. Setelah itu, apabila pisang hampir matang, disemprotkan alkohol 0,01%.

Karena sifat alkohol adalah gas, apabila disemprotkan, akan menyebar di permukaan pisang dan diserap oleh pisang. “Sensitif banget,” katanya. Alkohol inilah yang akan menginduksi RNA, sehingga menentukan kapan gen tersebut aktif dan kapan tidak.

Pemberian alkohol ini, menurut Fenny, tidak akan memberikan rasa yang berbeda pada pisang. “Karena hanya di permukaan,” ungkapnya. Teknologi temuannya itu, kata Fenny, tak hanya bisa diterapkan pada pisang, melainkan juga pada buah lain. Selama dua tahun meneliti, ia telah menghabiskan biaya sebesar Rp 200 juta.

Fenny mengaku tak mendapat kesulitan berarti dalam proses penelitian. ”Karena banyak pihak mendukung saya,” katanya. Ia dibantu mahasiswa dan dosen senior di ITB. Sedangkan dana penelitian berasal dari pemerintah, ITB, dan PT Bogasari Sukses Makmur. ”Sehingga saya tak bisa main-main karena mempertaruhkan nama pribadi dan institusi,” ujarnya.

Bogasari Sukses Makmur kemudian menganugerahkan penghargaan Bogasari Nugraha atas penelitian pisang ambon itu. Selama meneliti, Fenny juga harus membagi waktu untuk mengajar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. “Kalaupun Sabtu-Minggu harus meneliti, tak masalah,” katanya.

”Saya sangat menikmati hidup di laboratorium,” ia menambahkan. Namun, jika Sabtu-Minggu ”kosong”, ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan suami tercinta, Adam Haikal Moeis, 35 tahun, yang menikahinya delapan tahun lalu. Biasanya mereka menonton bioskop atau membeli film dan menontonnya di rumah.

Fenny, yang anak pertama dari tiga bersaudara, terlahir dari keluarga pendidik dan peneliti. Sang ayah, Aas Syamsuddin, adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Sedangkan keluarga sang ibu, yakni Sri Mulyati, banyak yang berprofesi sebagai peneliti. “Tidak aneh kalau saya juga meneliti,” kata peneliti yang selalu tampil modis ini.Fenny

Blogroll

Dewi Lestari: Beraerobik di Sela Menulis

Dewi Lestari: Beraerobik di Sela Menulis

Menyanyi, menulis, menjadi pembicara dalam seminar dan diskusi, ditambah dengan pekerjaan rumah tangga, semuanya dituntaskan Dewi Lestari Simangunsong. Akibatnya, penulis novel Supernova ini tak punya jadwal libur yang pasti.; Djoko Sumaryono: Treadmill Subuh

Menyanyi, menulis, menjadi pembicara dalam seminar dan diskusi, ditambah dengan pekerjaan rumah tangga, semuanya dituntaskan Dewi Lestari Simangunsong. Akibatnya, penulis novel Supernova ini tak punya jadwal libur yang pasti. “Semua jadi rancu antara kerja dan libur,” kata perempuan kelahiran Bandung, 20 Januari 1976, ini.

Jadi, setiap mengisi acara ke luar kota, ia punya tips khusus agar bisa beristirahat. Caranya dengan memperpanjang waktu selama berada di luar kota. Seandainya acara tersebut berlangsung hanya sehari, Dewi akan berada di kota itu selama tiga hari.

Nah, perpanjangan waktu itu yang ia gunakan untuk beristirahat di penginapan. “Saya tidak terlalu candu liburan,” katanya. Setiap kali ada kesempatan, Dee, panggilan akrabnya, minimal seminggu sekali selalu ada exercise.

Aerobik atau jalan kaki di sekitar rumah menjadi pilihannya. “Yang penting ada latihan fisik,” katanya lagi. Waktunya pun tak menentu. Bisa siang hari atau pagi hari. Dampaknya, Dee tak gampang sakit. “Udah lama nggak minum obat dokter,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga memiliki sensitivitas terhadap makanan. Kalau ada makanan yang mengandung penyedap monosodium glutamat, ia gampang menciumnya. Ia memilih tak menyentuh makanan tadi. Mantan anggota Trio Rida-Sita-Dewi ini memutuskan menjadi vegetarian sejak setahun lalu.

Tapi niatnya itu sebenarnya sudah disiapkan kala ia duduk di bangku SMA. “Waktu itu motivasi belum begitu kuat,” katanya. Sedikit berfilsafat, Dee merasa banyak relasi antara pola makan dunia dan krisis lingkungan atau krisis gizi. Jadi, Dee merasa, dengan memutuskan sebagai vegetarian, ia memberikan kontribusi bagi lingkungan.

Di lain pihak, ia mengaku hanya sanggup mengonsumsi segelas minuman anggur. “Lebih dari itu saya pusing,” ujarnya. Begitu pula kopi. Sedangkan soda, anak keempat dari lima bersaudara ini mengaku sama sekali tidak mengonsumsinya.