Peneliti muda ini pemenang UNESCO-L’OREAL Fellowships For Women in Science 2007. Menjadi duta Benua Asia untuk berlaga di arena peneliti tingkat dunia.
Peneliti yang satu ini modis penampilannya. Rambutnya pendek dengan highlight warna blonde. Saat ia berbicara, tampak behel warna pink menghiasi gigi putihnya. Kacamata minus membingkai wajah ovalnya. Dialah Dr. Fenny Martha Dwivany, pemenang UNESCO-L’OERAL Fellowships for Women in Science 2007.
Fellowship internasional yang berlangsung sejak tahun 2000 itu dikhususkan bagi peneliti perempuan muda di seluruh dunia. Fenny adalah perempuan Indonesia kedua yang mendapatkan penghargaan tersebut. Sebelumnya, Dr. Ines Admosukarto, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, meraih penghargaan serupa pada 2004.
Fenny, yang meraih gelar doktor bidang biologi molekuler dari University of Melbourne, Australia, menjadi salah satu dari 15 pemenang fellowship internasional. Penganugerahannya berlangsung pada 22 Februari 2007 di Paris, Prancis. Selanjutnya ia mewakili Benua Asia bersama peneliti dari Thailand dan Uzbekistan untuk berlaga di tingkat dunia.
Ajang bergengsi di bidang penelitian ini diikuti 180 peserta dari 20 negara. Setiap benua, yakni Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan Asia, diwakili tiga pemenang. Sebelum bersaing di level internasional, setiap peneliti mengikuti ajang UNESCO-L’OREAL Fellowships For Women in Science di tingkat negara.
Di Indonesia, ada ratusan peserta. Dari hasil penilaian juri, Fenny masuk lima besar tingkat nasional pada Agustus 2006. Kemudian dipilih dua finalis yang akan mewakili Indonesia di level internasional. Fenny terpilih bersama Dr. Fatma S. Wahyuni dari Universitas Andalas. Masing-masing mendapat hadiah uang tunai Rp 50 juta.
Dalam penjurian tingkat internasional yang berlangsung di Paris, Fenny-lah yang muncul sebagai jawara. Perempuan kelahiran Bandung, 18 April 1972, ini dihadiahi beasiswa senilai US$ 40.000 atau sekitar Rp 360 juta.
Peneliti muda yang bisa bersaing dalam UNESCO-L’OREAL Fellowships For Women in Science harus memiliki proyek riset yang menjanjikan untuk mendukung awal karier di bidang ilmu pengetahuan. Syarat lainnya, minimal berpendidikan S-2 dan maksimal berusia 35 tahun.
Proyek penelitian Fenny yang dimajukan dalam lomba itu dilabeli ”Konstruksi Vektor Biner ACS yang Meregulasi Aktivitas Gen ACC Sinatase sebagai Alternatif Pengontrolan Pematangan Buah Pisang Ambon”. Awalnya, Fenny sempat minder dengan tema penelitiannya. Maklum, pesaingnya membahas tentang kanker dan tema lain yang kelihatan lebih ”wah”.
“Ternyata malah pisang yang menarik perhatian para juri,” katanya. Buah yang berasal dari keluarga Musacea ini dianggap sebagai salah satu jenis buah khas Indonesia. Kepala Laboratorium Analisis Kromosom dan Molekuler Institut Teknologi Bandung (ITB) ini meneliti pisang karena gemar sekali makan pisang.
Setiap kali penjaja buah datang ke rumahnya, ia selalu membeli pisang. Tapi Fenny tak bisa menyimpan pisang terlalu lama. Sebab kulit pisang yang berwarna hijau atau kuning –tergantung jenisnya– akan berubah menjadi berbintik-bintik hitam, yang membuat penampilan pisang tak menarik. Tak cuma itu, pisang yang terlalu matang tidak enak dikonsumsi karena buahnya melembek.
Ini terjadi karena pisang termasuk buah climacteric (proses pematangan terus berjalan dari mulai dipetik hingga seterusnya). Pematangan buah yang tidak berhenti itu tak menguntungkan bagi petani maupun penjualnya. Ini terutama karena dalam proses distribusi tak boleh terlambat. ”Kalau terlalu matang, pisang tak laku dijual,” katanya.
Untuk mencegah proses pematangan yang berkelanjutan, selama ini dilakukan cara ”tradisional”, yakni dengan memasukkannya ke lemari pendingan atau kardus busa. Dari persoalan yang ada di buah kegemarannya itu, Fenny tergelitik untuk menemukan teknologi yang bisa menghentikan proses pematangan pisang.
Selepas menyelesaikan program doktor di University of Melbourne, Fenny memfokuskan penelitian untuk mengisolasi gen pada 2004. Terlebih dulu ia mencari gen yang dibutuhkan dalam proses pematangan buah. ”Ada setahun untuk mencari gen itu,” ujarnya.
Lamanya proses pencarian, karena asam deoksiribo-nukleat (DNA) pisang sulit ditemukan. Padahal, DNA adalah komponen kimia utama kromosom dan merupakan bahan penghasil gen. Penyebabnya, pisang mengandung banyak zat pati alias karbohidrat. “Ini mengganggu proses isolasi gen,” katanya.
Dari hasil penelitian, Fenny menemukan bahwa gen ACO berperan dalam pematangan buah. Untuk mencegah pematangan itu, ia menggunakan metode RNA interference. Metode ini membungkam gen dengan asam ribonukleat (RNA) untai ganda. ”Jadi, proses pematangan buah dapat dihentikan pada saat yang diinginkan,” ujarnya.
Cara kerjanya, gen ACO memberi kode pada enzim atau protein. Enzim atau protein itu adalah produk dari gen. Enzim inilah yang melakukan katalisasi produksi etilen alami pada tanaman buah. Etilen merupakan hormon tumbuhan yang bersifat gas.
Nah, etilen inilah yang menginduksi buah menjadi matang atau tidak. Apabila ada etilen, buah akan matang. Tetapi sebaliknya, jika tidak ada etilen, buah tidak akan matang. Fenny lantas membuat gen ACO itu ”tidur”.
Dampaknya, enzim tidak memberi kode kepada etilen. Otomatis, etilen tidak bisa diproduksi sehingga buah tidak akan matang. Setelah itu, apabila pisang hampir matang, disemprotkan alkohol 0,01%.
Karena sifat alkohol adalah gas, apabila disemprotkan, akan menyebar di permukaan pisang dan diserap oleh pisang. “Sensitif banget,” katanya. Alkohol inilah yang akan menginduksi RNA, sehingga menentukan kapan gen tersebut aktif dan kapan tidak.
Pemberian alkohol ini, menurut Fenny, tidak akan memberikan rasa yang berbeda pada pisang. “Karena hanya di permukaan,” ungkapnya. Teknologi temuannya itu, kata Fenny, tak hanya bisa diterapkan pada pisang, melainkan juga pada buah lain. Selama dua tahun meneliti, ia telah menghabiskan biaya sebesar Rp 200 juta.
Fenny mengaku tak mendapat kesulitan berarti dalam proses penelitian. ”Karena banyak pihak mendukung saya,” katanya. Ia dibantu mahasiswa dan dosen senior di ITB. Sedangkan dana penelitian berasal dari pemerintah, ITB, dan PT Bogasari Sukses Makmur. ”Sehingga saya tak bisa main-main karena mempertaruhkan nama pribadi dan institusi,” ujarnya.
Bogasari Sukses Makmur kemudian menganugerahkan penghargaan Bogasari Nugraha atas penelitian pisang ambon itu. Selama meneliti, Fenny juga harus membagi waktu untuk mengajar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. “Kalaupun Sabtu-Minggu harus meneliti, tak masalah,” katanya.
”Saya sangat menikmati hidup di laboratorium,” ia menambahkan. Namun, jika Sabtu-Minggu ”kosong”, ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan suami tercinta, Adam Haikal Moeis, 35 tahun, yang menikahinya delapan tahun lalu. Biasanya mereka menonton bioskop atau membeli film dan menontonnya di rumah.
Fenny, yang anak pertama dari tiga bersaudara, terlahir dari keluarga pendidik dan peneliti. Sang ayah, Aas Syamsuddin, adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Sedangkan keluarga sang ibu, yakni Sri Mulyati, banyak yang berprofesi sebagai peneliti. “Tidak aneh kalau saya juga meneliti,” kata peneliti yang selalu tampil modis ini.