Blogroll

Menilik Kode Etik Jurnalistik

Aturan main yang berlaku di koran tertua Amerika ini lengkap dan sangat terperinci. Membantu kita mengetahui standar ketat bagi para jurnalis.

THE NEW YORK TIMES, MENULIS BERITA TANPA TAKUT ATAU MEMIHAK

Penulis: Ignatius Haryanto
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Juli 2006, xxvi + 120 halaman

Surat kabar The New York Times memang menjadi legenda media di dunia. Banyak hal yang menarik dari koran yang terbit perdana pada 1851 itu. Mulai sejarah kelahirannya, kode etik dan prestasinya, bahkan kasus yang pernah menerpanya. Buku setebal 119 halaman ini menjelaskan semua itu secara runtut.

The New York Times merupakan koran tertua sekaligus peraih penghargaan jurnalistik Pulitzer terbanyak dibandingkan dengan koran-koran lain di Amerika Serikat. Mulai 1918 hingga 2004, ia menyabet 90 penghargaan Pulitzer. Liputan-liputan politik, sains, investigasi, masalah internasional, hingga editorialnya pernah meraih penghargaan jurnalistik paling bergengsi itu.

Lantaran terlalu sering meraih Pulitzer, suatu ketika juri Pulitzer membuat kesepakatan bahwa koran itu akan dikeluarkan dari penilaian. Dewan juri membatasi, setiap tahun The New York Times hanya boleh menerima satu penghargaan. Sukses The New York Times berawal dari Adolph S. Ochs, yang lahir pada 1858 dan meninggal 76 tahun kemudian.

Ochs tak bisa menulis dengan baik secara gramatikal, tapi punya energi besar, kepribadian teguh, dan percaya diri. Liputan pertamanya dilakukan ketika ia masih berusia belasan tahun. Yakni peristiwa meninggalnya Presiden Andrew Johnson pada 1875, yang dimuat koran Lousiville Courier-Journal di Greenville, Tennessee.

Ia mendirikan Chattanooga Daily yang berubah nama menjadi Chattanooga Times pada 1878. Sedangkan The New York Times sudah terbit ketika Ochs mengelola Chattanooga Times. Pada 1896, Ochs mengambil alih koran tersebut. Ia mendeklarasikan moto “To give the news impartially, without fear or favor“.

Moto itu dimaksudkan untuk mencegah adanya tudingan bahwa koran ini lebih membela kepentingan Partai Demokrat. Salah satu berita eksklusif yang didapatkan adalah tentang karamnya kapal mewah Titanic. Awak koran itu berhasil menemukan fakta bahwa setengah jam setelah tanda SOS dikirim, tak ada sinyal yang didapat lagi oleh kapal ini.

Laporan tanggal 15 April 1912, bertajuk “Titanic Sinks Four Hours After Hitting Iceberg”, itu juga dilengkapi dengan daftar orang yang selamat dari peristiwa tersebut. Ada juga wawancara eksklusif dengan markoni yang menerima tanda SOS, sehingga tergambar lengkap bagaimana menit-menit terakhir sebelum kapal tenggelam.

Pada masa kempemimpinan Ochs, kebodohan bukanlah dosa. Ia berprinsip, lebih baik bodoh daripada membuat bingung pembaca. Tahun 1920-an, The New York Times mulai melakukan pergantian pucuk pimpinan. Sejumlah editor senior dipensiunkan dan digantikan oleh editor muda.

Menantu dan keponakan Ochs, Arthur Hay Sulzberger dan Julius Ochs Adler, pun mulai naik. Hingga saat ini, The New York Times sebagai grup perusahaan memiliki 25 harian di seluruh negeri, ditambah lima kantor layanan informasi, sembilan stasiun televisi lokal, dan dua stasiun radio.

Keberhasilan itu tentu tidak didapat dengan mudah. Salah satu pendukungnya adalah pemberlakuan kode etik yang jelas dan lengkap, yang termuat dalam 155 pasal. Aturan main ini tertuang dalam buku setebal 52 halaman. Bandingkan dengan Indonesia, tak satu pun kode etik yang memuat lebih dari 20 pasal.

Dalam kode etik itu termuat segala aturan main di bagian redaksi, juga bagian promosi dan pemasaran. Ada pula aturan untuk pengiklan. Uniknya, ada pasal khusus yang mengatur masalah hubungan pribadi dengan narasumber. Berlaku semacam keharusan bagi wartawan untuk mengungkap kedekatan hubungan itu kepada atasannya.

Kode etik yang terdapat dalam buku ini membantu pembaca untuk mengetahui standar yang dipakai surat kabar itu. Salah satu yang menarik adalah tentang self-regulation (pengaturan diri sendiri). JIka koran itu melakukan kesalahan, maka kesalahan tersebut harus ditelusuri dan hasilnya diumumkan kepada publik.

Contohnya ketika mencuat kasus berita bohong yang ditulis awaknya bernama Jayson Blair pada 2003. Blair terbukti menulis berita palsu soal Jessica D. Lynch, tentara Amerika yang ditawan dalam serangan ke Irak. Para editor koran ini pun secara resmi memuat permintaan maaf kepada pembaca.

Leave a comment